RESUME PROSES PERUBAHAN SISTEM DARI
TEOKRASI , ARISTOKRASI OTOKRASI KE
DEMOKRASI
DI SUSUN OLEH:
NAMA :NINA
RUSPINA
NIM :E1B 010
035
SEMESTER :IV( EMPAT)
MATA KULIAH : KAPITA
SELEKTA ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI
PKn
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MATARAM
2012
Proses Perubahan Sistem Dari Teokrasi
, Aristokrasi Otokrasi
Ke Demokrasi
1.
Proses Perubahan Teokrasi
Istilah teokrasi
berasal dari kata “teo” artinya tuhan, dan “archein” atau “cratia” artinya
memerintah. Jadi teokrasi adalah pemeritahan yang tidak secara langsung
dikuasai oleh masalah-masalah keduniawian, terutama yang berhubungan dengan
kepentingan-kepentingan material, melainkan pemerintahan yang ditinjau dari
segi ketuhanan, dari segi agama.
Sistem Teokrasi didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara. Karena negara diciptakan dan dibentuk atas kehendak Tuhan, maka pemimpin-pemimpin-nya pun adalah orang-orang yang ditunjuk dan dikehendaki Tuhan. Karena itu, kekuasaan para raja dan pe-mimpin negara adalah suci. Pelanggaran terhadap kekuasaan raja dan pemimpin negara berarti pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian, raja dan segenap pemimpin negara hanya ber-tanggung jawab kepada Tuhan.
Sistem Teokrasi didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara. Karena negara diciptakan dan dibentuk atas kehendak Tuhan, maka pemimpin-pemimpin-nya pun adalah orang-orang yang ditunjuk dan dikehendaki Tuhan. Karena itu, kekuasaan para raja dan pe-mimpin negara adalah suci. Pelanggaran terhadap kekuasaan raja dan pemimpin negara berarti pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian, raja dan segenap pemimpin negara hanya ber-tanggung jawab kepada Tuhan.
Dalam paham teokrasi, hubungan Negara
dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara
menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman
Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan
atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham
teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. Menurut Roeslan
Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2009: 9), menegaskan bahwa negara
Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa
dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan.
Dalam
perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham
teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi
langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula.
Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang
memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak
langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah
adalah raja atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak
Tuhan. Sistem Teokrasi didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu
yang ada di atas dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara. Karena negara
diciptakan dan dibentuk atas kehendak Tuhan, maka pemimpin-pemimpin-nya pun
adalah orang-orang yang ditunjuk dan dikehendaki Tuhan. Karena itu, kekuasaan
para raja dan pe-mimpin negara adalah suci. Pelanggaran terhadap kekuasaan raja
dan pemimpin negara berarti pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Dengan
demikian, raja dan segenap pemimpin negara hanya ber-tanggung jawab kepada
Tuhan.
Pada abad
pertengahan di Eropa, pemikiran dan pandangan ini mencapai masa kejayaannya.
Pada masa itu, agama Kristen mendomi-nasi segala aspek kehidupan di Eropa.
Negara teokratis dianggap sangat sesuai dengan pandangan agama. Menurut paham
ini, kehidupan negara didasarkan pada moralisme yang berorientasi kepada agama.
Setiap kebijaksanaan, keputusan politik dan penyelengga-raan pemerintahan
negara ditentu-kan berdasarkan ketentuan-keten-tuan yang berlaku dalam agama.
Para gerejawan
sebagai pemimpin agama mempunyai kekuasaan yang besar dalam menentukan setiap
kebijaksana-an negara. Para raja dan pemimpin negara hanya meru-pakan pelaksana
pemerintahan yang terlebih dahulu mendapat restu dan legalitas dari gereja.
Demikian pula dalam hal pewarisan kekuasaan, gerejalah yang mengesahkan
peng-gantinya. Dengan demikian, gereja menjadi pelaksana kekuasaan di dunia,
yang dalam prakteknya diserahkan kepada raja atau para pemimpin dunia.
Di Timur Tengah,
meskipun ideologi yang berkembang lebih merupa-kan campuran antara Islam,
Nasionalisme (Chaumiyyah), Sosialisme (Isytirakiyya) dan netralisme
(Muhayadah), Ideologi Islam tetap merupakan ideologi yang terkuat, yang
melandasi kehidupan berbang-sa dan bernegara. Arab Saudi merupakan salah satu
contoh negara Arab konsevatif yang berdasar pada ideologi Islam secara relatif
murni. Iran di bawah Ayatollah Khoemeni-pun membawa Iran kepada ideologi
teokratis. Di samping itu, gerakan-gerakan Islam fundamentalis di beberapa
negara, juga merupakan fenomena politis yang mengarah pada teokratisme.
Di Asia Selatan,
kemunculan ideologi teokratis yang dibarengi dengan gerakan modernisasi yang
cenderung bersifat sekuler. Pakistan ketika dipimpin Presiden Zia Ul Haq,
merupakan suatu contoh yang menonjol. Namun demikian, teokratis-me di luar
Eropa yang pada umum-nya didominasi Islam, masih mentolerir perkembangan
ideologi-ideologi lainnya meskipun tidak secara formal.
2. Proses Perubahan Sistem Aristokrasi
Kata aristokrasi
berasal dari kata “aristoi” artinya cerdik pandai, golongan ningrat (yang pada
zaman dahulu jumlahnya sedikit), dan “archein” atau “cratia” artinya
memerintah. Jadi aristokrasi adalah suatu pemerintahan yang dipimpin dan
dipegang oleh sejumlah kecil para cerdik pandai yang memerintah berdasarkan
keadilan.
Aristokrasi diambil
dari kata yunani ARISTOKRATIA ( aristos = best + kratia = rule ), yang berarti
pemerintahan terbaik yang dipimpin oleh orang- orang terpilih. Tetapi kata –
kata terbaik disini terkesan samar dengan istilah terbaik dimasa yunani kuno.
Penjelasan yang benar bahwa yang terbaik adalah mereka yang memiliki kecakapan
yang tinggi, berpendidikan, berpengalaman dan bermoral tinggi. Namun, hal ini
tidak bisa dijadikan atau dipastikan menjadi yang terbaik.
Rusia merupakan negara dengan sistem otokrasi yang sangat dominan. Yaitu berpusatnya kekuasaan pada satu orang secara penuh dan bahkan turun temurun. Segala sesuatunya bergantung pada kemauan Tsar (Kaisar/Raja) dan secara otomatis kekuasaan terpusat padanya. Selain itu tidak ada kebebasan berpendapat dan tidak ada check and balance antara pemimpin dan parlemen, karena parlemen perlahan harus tunduk pada kekuasaan Tsar. Sekitar abad 17, merupakan masa kejayaan Duma (parlemen Rusia), akan tetapi pergerakannya sangat sempit. Terkadang hanya sebagai pelaksana perintah Tsar. Dalam sejarah otokrasi, pemimpin dinilai tidak pernah melakukan kesalahan karena dia dianggap sebagai perpanjangan tangan Tuhan. Sehingga sempat terdapat ungkapan bahwa Tsar adalah pengatur negara yang tidak pernah berbuat salah. Pada masa komunispun, setelah menang pada revolusi boulsevik 1917, kekuasaan tetap berada pada tangan satu orang, bahkan semakin penuh cakupannya. Akan tetapi, rakyat Rusia pada masa Tsar seolah telah menyerahkan segala sesuatunya pada sang pemimpin. Mereka tidak peduli dengan dunia luar. Rakyat Rusia sangat mempercayai Tsar sehingga tekadang sangat tergambar bahwa Tsar memanfaatkan kepercayaan rakyatnya. Tsar melakukan segala cara agar Rakyat Rusia selalu mempercayai apapun yang dikatakannya dan menuruti segala hasilnya. Rakyat tidak terlalu peduli pada poltik. Yang terpenting adalah mereka tidak kelaparan. Akibatnya, rakyat Rusia tidak terbiasa dengan perubahan.
Aristokrasi sendiri
merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana
mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar.
Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang
tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis
kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana
ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada pula
monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi— tidak
bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun
bisa duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi,
kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari
kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut
dinyatakan sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
Menurut
beberapa ahli mengenai Aristokrasi , yaitu :
a.
Aristotle
memandang kekayaan dari segi ukuran moral dan keunggulan intelektual. Dia
percaya bahwa kekayaan dari segi intelektual, moral lebih berkembang daripada
yang lain, Karena mereka akan memimpin kehidupan dengan waktu luang dan
kesenangan, sedangkan mereka yang mengutamakan fisik untuk hidup, tidak bisa
mengembangkan intelektual dan moral mereka. Aristotle membedakan
aristokrasi dan oligarchy ( pemerintahan oleh sekelompok kecil ). Dia
menegaskan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh sekelompok kecil, dengan dasar
kepentingan mereka sendiri; dan telah terjadi, maka dari hal ini, membuktikan
bentuk pemerintahan aristokrasi yang dipimpin oleh orang – orang terbaik
didalam Negara adalah sesat. Akan tetapi, pada masa modern perbedaan ini sering
diabaikan.
b. Garner
mendefinisikan aristokrasi sebagai
bentuk pemerintahan dimana proporsi warganegara secara relatip memberikan suara
didalam memilih pejabat- pejabat publik dan menetapkan kebijaksanaan publik.
c. Jellinek
memahami aristokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang menjadi mainan dan
diperani oleh kelompok khusus yang berpengaruh. Bisa saja seperti, pendeta,
para professional atau orang- orang terpandang didalam Negara. Setiap perkara
atau permasalah yang terjadi merupakan pecahan populasi yang jelas dari massa,
dengan beberapa alasan yang timbul dari hak istimewa yang mereka nikmati.
3. Proses
Perubahan Sistem Otokrasi
Otokrasi
berasal dari kata “auto” yang artinya satu atau sendiri, dan “archein” atau
“cratia” Adapun
ciri-ciri gaya kepemimpinan otokrasi, antara lain:
dalam kepemimpinan yang otokrasi, pemimpin bertindak sebagai
diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya artinya memerintah. Jadi autokrasi berarti pemerintahan yang berada di tangan satu orang. Kekuasaan pemimpin
otokrasi hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsirannya sebagai
pemimpin otokrasi tidak lain adalah menunjukkan dan memberi perintah,
tidak ada koordinasi dengan para bawahan diartikan sebagai kepicikan,
pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi
yang telah ditetapkan. Kekuasaan yang berlebihan ini dapat menimbulkan
sikap menyerah tanpa kritik “Asal Bapak Senang” terhadap pemimpin dan
kecenderungan untuk mengabdikan perintah dan tugas tidak ada
pengawasan langsung. Dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan
oposisi terhadap kepemimpinan, atau menimbulkan sifat apatis, atau sifat
agresif pada anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya.
Menurut Hendiyat Soetopo dalam bukunya Kepemimpinan dan
Supervisi Pendidikan bahwa kepemimpinan yang otokrasi yaitu pemimpin
lebih bersifat ingin berkuasa, suasana disekolah tegang. Pemimpin sama
sekali tidak memberi kebebasan kepada anggota kelompok untuk turut
ambil bagian dalam memutus suatu persoalan.
dalam kepemimpinan yang otokrasi, pemimpin bertindak sebagai
diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya artinya memerintah. Jadi autokrasi berarti pemerintahan yang berada di tangan satu orang. Kekuasaan pemimpin
otokrasi hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsirannya sebagai
pemimpin otokrasi tidak lain adalah menunjukkan dan memberi perintah,
tidak ada koordinasi dengan para bawahan diartikan sebagai kepicikan,
pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi
yang telah ditetapkan. Kekuasaan yang berlebihan ini dapat menimbulkan
sikap menyerah tanpa kritik “Asal Bapak Senang” terhadap pemimpin dan
kecenderungan untuk mengabdikan perintah dan tugas tidak ada
pengawasan langsung. Dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan
oposisi terhadap kepemimpinan, atau menimbulkan sifat apatis, atau sifat
agresif pada anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya.
Menurut Hendiyat Soetopo dalam bukunya Kepemimpinan dan
Supervisi Pendidikan bahwa kepemimpinan yang otokrasi yaitu pemimpin
lebih bersifat ingin berkuasa, suasana disekolah tegang. Pemimpin sama
sekali tidak memberi kebebasan kepada anggota kelompok untuk turut
ambil bagian dalam memutus suatu persoalan.
4.
Proses Perubahan Sistem Demokrasi
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang
tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi
modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan
perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.Kata “demokrasi” berasal dari
dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan
rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri
dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan
dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan
kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk
diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah
(eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat
yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali
menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya
kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk
gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak
akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable),
tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap
lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara
teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5
SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara
langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka
membahas pelbagai permasalahan kenegaraan. Sedangkan demokrasi dalam
pengertiannya yang modern muncul pertama kali di Amerika. Konsep demokrasi
modern sebagian besar dipengaruhi oleh para pemikir besar seperti Marx, Hegel,
Montesquieu dan Alexis de Tocqueville. Mengingat semakin berkembangnya
negara-negara pada umumnya, secara otomatis menyebabkan makin luasnya negara
dan banyaknya jumlah warganya serta meningkatnya kompleksitas urusan
kenegaraan, mengakibatkan terjadinya perwalian aspirasi dari rakyat, yang
disebut juga sebagai demokrasi secara tidak langsung.
·
Demokrasi
Klasik
Bentuk negara
demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a
tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas
tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para
penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino.
Plato dalam
ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasan berada di tangan
rakyat sehingaa kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara
prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat
kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau
lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki.
Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan
orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius,
demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep
demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato.
Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh
seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
·
Demokrasi
Modern
Ada tiga tipe demokrasi modern, yaitu :
1.
.Demokrasi
representatif dengan sistem presidensial
Dalam sistem ini terdapat pemisahan tegas antara badan
dan fungsi legislatif dan eksekutif.Badan eksekutif terdiri dari seorang presiden,
wakil presiden dan menteri yang membantu presiden dalam
menjalankan pemerintahan. Dalam hubungannya dengan badan perwakilan rakyat
(legislatif), para menteri tidak memiliki hubungan pertanggungjawaban dengan
badan legislatif. Pertanggungjawaban para menteri diserahkan sepenuhnya kepada
presiden. Presiden dan para menteri tidak dapat diberhentikan oleh badan
legislatif.
2. Demokrasi representatif dengan sistem parlementer
Sistem ini menggambarkan hubungan yang erat antara
badan eksektif dan legislatif. Badan eksekutif terdiri dari kepala negara
dan kabinet (dewan menteri), sedangkan badan legisletafnya dinamakan parlemen.
Yang bertanggung jawab atas kekuasaan pelaksanaan pemerintahan adalah kabinet
sehingga kebijaksanaan pemerintahan ditentukan juga olehnya. Kepala negara
hanyalah simbol kekuasaan tetapi mempunyai hak untuk membubarkan parlemen.
3. Demokrasi representatif dengan sistem referendum
(badan pekerja)
Dalam sistem ini tidak terdapat pembagian dan
pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari sistemnya sendiri di mana BADAN
eksekutifnya merupakan bagian dari badan legislatif. Badan eksekutifnya dinamakan
bundesrat yang merupakan bagian dari bundesversammlung (legislatif)
yang terdiri dari nationalrat-badan perwakilan nasional- dan standerat
yang merupakan perwakilan dari negara-negara bagian yag disebut kanton.
·
Demokrasi totaliter
Demokrasi totaliter adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh
sejarahwan Israel, J.L. Talmon untuk merujuk kepada suatu sistem pemerintahan di mana wakil rakyat yang terpilih secara sah
mempertahankan kesatuan negara kebangsaan yang warga negaranya, meskipun memiliki hak untuk memilih, tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak memiliki partisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemerintah.
Ungkapan ini sebelumnya telah digunakan oleh Bertrand de Jouvenel dan E.H. Carr.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&hs=1sI&rls=org.mozilla:en-
wah cantik tampilannya kak...
ReplyDeletesaya adik tingkat kakak di CIVIC jga..
mohon mampir ke blogs sya jga ya..
www.ronikurosaky.blogspot.com
like this blog ka'
ReplyDeletesalam kenal, sy juga adek tingket kk di PPKn UNRAM