Friday, May 11, 2012

RESUME KAPITA SELEKTA ILMU POLITIK










RESUME PROSES PERUBAHAN SISTEM DARI TEOKRASI , ARISTOKRASI OTOKRASI  KE DEMOKRASI


DI SUSUN OLEH:


NAMA                      :NINA RUSPINA
NIM                         :E1B 010 035
SEMESTER             :IV( EMPAT)
MATA KULIAH                : KAPITA SELEKTA ILMU POLITIK



PROGRAM STUDI PKn
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2012
Proses Perubahan Sistem Dari Teokrasi , Aristokrasi Otokrasi  Ke Demokrasi

1.       Proses Perubahan Teokrasi
Istilah teokrasi berasal dari kata “teo” artinya tuhan, dan “archein” atau “cratia” artinya memerintah. Jadi teokrasi adalah pemeritahan yang tidak secara langsung dikuasai oleh masalah-masalah keduniawian, terutama yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan material, melainkan pemerintahan yang ditinjau dari segi ketuhanan, dari segi agama.
Sistem Teokrasi didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara. Karena negara diciptakan dan dibentuk atas kehendak Tuhan, maka pemimpin-pemimpin-nya pun adalah orang-orang yang ditunjuk dan dikehendaki Tuhan. Karena itu, kekuasaan para raja dan pe-mimpin negara adalah suci. Pelanggaran terhadap kekuasaan raja dan pemimpin negara berarti pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian, raja dan segenap pemimpin negara hanya ber-tanggung jawab kepada Tuhan.

Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2009: 9), menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan.
Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan. Sistem Teokrasi didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu yang ada di atas dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara. Karena negara diciptakan dan dibentuk atas kehendak Tuhan, maka pemimpin-pemimpin-nya pun adalah orang-orang yang ditunjuk dan dikehendaki Tuhan. Karena itu, kekuasaan para raja dan pe-mimpin negara adalah suci. Pelanggaran terhadap kekuasaan raja dan pemimpin negara berarti pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian, raja dan segenap pemimpin negara hanya ber-tanggung jawab kepada Tuhan.
Pada abad pertengahan di Eropa, pemikiran dan pandangan ini mencapai masa kejayaannya. Pada masa itu, agama Kristen mendomi-nasi segala aspek kehidupan di Eropa. Negara teokratis dianggap sangat sesuai dengan pandangan agama. Menurut paham ini, kehidupan negara didasarkan pada moralisme yang berorientasi kepada agama. Setiap kebijaksanaan, keputusan politik dan penyelengga-raan pemerintahan negara ditentu-kan berdasarkan ketentuan-keten-tuan yang berlaku dalam agama.
Para gerejawan sebagai pemimpin agama mempunyai kekuasaan yang besar dalam menentukan setiap kebijaksana-an negara. Para raja dan pemimpin negara hanya meru-pakan pelaksana pemerintahan yang terlebih dahulu mendapat restu dan legalitas dari gereja. Demikian pula dalam hal pewarisan kekuasaan, gerejalah yang mengesahkan peng-gantinya. Dengan demikian, gereja menjadi pelaksana kekuasaan di dunia, yang dalam prakteknya diserahkan kepada raja atau para pemimpin dunia.
Di Timur Tengah, meskipun ideologi yang berkembang lebih merupa-kan campuran antara Islam, Nasionalisme (Chaumiyyah), Sosialisme (Isytirakiyya) dan netralisme (Muhayadah), Ideologi Islam tetap merupakan ideologi yang terkuat, yang melandasi kehidupan berbang-sa dan bernegara. Arab Saudi merupakan salah satu contoh negara Arab konsevatif yang berdasar pada ideologi Islam secara relatif murni. Iran di bawah Ayatollah Khoemeni-pun membawa Iran kepada ideologi teokratis. Di samping itu, gerakan-gerakan Islam fundamentalis di beberapa negara, juga merupakan fenomena politis yang mengarah pada teokratisme.
Di Asia Selatan, kemunculan ideologi teokratis yang dibarengi dengan gerakan modernisasi yang cenderung bersifat sekuler. Pakistan ketika dipimpin Presiden Zia Ul Haq, merupakan suatu contoh yang menonjol. Namun demikian, teokratis-me di luar Eropa yang pada umum-nya didominasi Islam, masih mentolerir perkembangan ideologi-ideologi lainnya meskipun tidak secara formal.
2.        Proses Perubahan  Sistem Aristokrasi
Kata aristokrasi berasal dari kata “aristoi” artinya cerdik pandai, golongan ningrat (yang pada zaman dahulu jumlahnya sedikit), dan “archein” atau “cratia” artinya memerintah. Jadi aristokrasi adalah suatu pemerintahan yang dipimpin dan dipegang oleh sejumlah kecil para cerdik pandai yang memerintah berdasarkan keadilan.
Aristokrasi diambil dari kata yunani ARISTOKRATIA ( aristos = best + kratia = rule ), yang berarti pemerintahan terbaik yang dipimpin oleh orang- orang terpilih. Tetapi kata – kata terbaik disini terkesan samar dengan istilah terbaik dimasa yunani kuno. Penjelasan yang benar bahwa yang terbaik adalah mereka yang memiliki kecakapan yang tinggi, berpendidikan, berpengalaman dan bermoral tinggi. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan atau dipastikan menjadi yang terbaik.

Rusia merupakan negara dengan sistem otokrasi yang sangat dominan. Yaitu berpusatnya kekuasaan pada satu orang secara penuh dan bahkan turun temurun. Segala sesuatunya bergantung pada kemauan Tsar (Kaisar/Raja) dan secara otomatis kekuasaan terpusat padanya. Selain itu tidak ada kebebasan berpendapat dan tidak ada check and balance antara pemimpin dan parlemen, karena parlemen perlahan harus tunduk pada kekuasaan Tsar. Sekitar abad 17, merupakan masa kejayaan Duma (parlemen Rusia), akan tetapi pergerakannya sangat sempit. Terkadang hanya sebagai pelaksana perintah Tsar. Dalam sejarah otokrasi, pemimpin dinilai tidak pernah melakukan kesalahan karena dia dianggap sebagai perpanjangan tangan Tuhan. Sehingga sempat terdapat ungkapan bahwa Tsar adalah pengatur negara yang tidak pernah berbuat salah. Pada masa komunispun, setelah menang pada revolusi boulsevik 1917, kekuasaan tetap berada pada tangan satu orang, bahkan semakin penuh cakupannya. Akan tetapi, rakyat Rusia pada masa Tsar seolah telah menyerahkan segala sesuatunya pada sang pemimpin. Mereka tidak peduli dengan dunia luar. Rakyat Rusia sangat mempercayai Tsar sehingga tekadang sangat tergambar bahwa Tsar memanfaatkan kepercayaan rakyatnya. Tsar melakukan segala cara agar Rakyat Rusia selalu mempercayai apapun yang dikatakannya dan menuruti segala hasilnya. Rakyat tidak terlalu peduli pada poltik. Yang terpenting adalah mereka tidak kelaparan. Akibatnya, rakyat Rusia tidak terbiasa dengan perubahan.
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
Menurut beberapa ahli mengenai Aristokrasi , yaitu :
a.       Aristotle memandang kekayaan dari segi ukuran moral dan keunggulan intelektual. Dia percaya bahwa kekayaan dari segi intelektual, moral lebih berkembang daripada yang lain, Karena mereka akan memimpin kehidupan dengan waktu luang dan kesenangan, sedangkan mereka yang mengutamakan fisik untuk hidup, tidak bisa mengembangkan intelektual dan moral mereka. Aristotle membedakan aristokrasi dan oligarchy ( pemerintahan oleh sekelompok kecil ). Dia menegaskan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh sekelompok kecil, dengan dasar kepentingan mereka sendiri; dan telah terjadi, maka dari hal ini, membuktikan bentuk pemerintahan aristokrasi yang dipimpin oleh orang – orang terbaik didalam Negara adalah sesat. Akan tetapi, pada masa modern perbedaan ini sering diabaikan.
b.      Garner mendefinisikan aristokrasi sebagai bentuk pemerintahan dimana proporsi warganegara secara relatip memberikan suara didalam memilih pejabat- pejabat publik dan menetapkan kebijaksanaan publik.
c.       Jellinek memahami aristokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang menjadi mainan dan diperani oleh kelompok khusus yang berpengaruh. Bisa saja seperti, pendeta, para professional atau orang- orang terpandang didalam Negara. Setiap perkara atau permasalah yang terjadi merupakan pecahan populasi yang jelas dari massa, dengan beberapa alasan yang timbul dari hak istimewa yang mereka nikmati.
3.       Proses Perubahan  Sistem Otokrasi
Otokrasi berasal dari kata “auto” yang artinya satu atau sendiri, dan “archein” atau “cratia” Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan otokrasi, antara lain:
dalam kepemimpinan yang otokrasi, pemimpin bertindak sebagai
diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya artinya memerintah. Jadi autokrasi berarti pemerintahan yang berada di tangan satu orang. Kekuasaan pemimpin
otokrasi hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsirannya sebagai
pemimpin otokrasi tidak lain adalah menunjukkan dan memberi perintah,
tidak ada koordinasi dengan para bawahan diartikan sebagai kepicikan,
pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi
yang telah ditetapkan. Kekuasaan yang berlebihan ini dapat menimbulkan
sikap menyerah tanpa kritik “Asal Bapak Senang” terhadap pemimpin dan
kecenderungan untuk mengabdikan perintah dan tugas tidak ada
pengawasan langsung. Dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan
oposisi terhadap kepemimpinan, atau menimbulkan sifat apatis, atau sifat
agresif pada anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya.
Menurut Hendiyat Soetopo dalam bukunya Kepemimpinan dan
Supervisi Pendidikan bahwa kepemimpinan yang otokrasi yaitu pemimpin
lebih bersifat ingin berkuasa, suasana disekolah tegang. Pemimpin sama
sekali tidak memberi kebebasan kepada anggota kelompok untuk turut
ambil bagian dalam memutus suatu persoalan.
4.       Proses Perubahan  Sistem Demokrasi
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan kenegaraan. Sedangkan demokrasi dalam pengertiannya yang modern muncul pertama kali di Amerika. Konsep demokrasi modern sebagian besar dipengaruhi oleh para pemikir besar seperti Marx, Hegel, Montesquieu dan Alexis de Tocqueville. Mengingat semakin berkembangnya negara-negara pada umumnya, secara otomatis menyebabkan makin luasnya negara dan banyaknya jumlah warganya serta meningkatnya kompleksitas urusan kenegaraan, mengakibatkan terjadinya perwalian aspirasi dari rakyat, yang disebut juga sebagai demokrasi secara tidak langsung.
·        Demokrasi Klasik
Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino.
Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasan berada di tangan rakyat sehingaa kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
·        Demokrasi Modern
Ada tiga tipe demokrasi modern, yaitu :
1.       .Demokrasi representatif dengan sistem presidensial
Dalam sistem ini terdapat pemisahan tegas antara badan dan fungsi legislatif dan eksekutif.Badan eksekutif terdiri dari seorang presiden, wakil presiden dan menteri yang membantu presiden dalam menjalankan pemerintahan. Dalam hubungannya dengan badan perwakilan rakyat (legislatif), para menteri tidak memiliki hubungan pertanggungjawaban dengan badan legislatif. Pertanggungjawaban para menteri diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Presiden dan para menteri tidak dapat diberhentikan oleh badan legislatif.
2. Demokrasi representatif dengan sistem parlementer
Sistem ini menggambarkan hubungan yang erat antara badan eksektif dan legislatif. Badan eksekutif terdiri dari kepala negara dan kabinet (dewan menteri), sedangkan badan legisletafnya dinamakan parlemen. Yang bertanggung jawab atas kekuasaan pelaksanaan pemerintahan adalah kabinet sehingga kebijaksanaan pemerintahan ditentukan juga olehnya. Kepala negara hanyalah simbol kekuasaan tetapi mempunyai hak untuk membubarkan parlemen.


3. Demokrasi representatif dengan sistem referendum (badan pekerja)
Dalam sistem ini tidak terdapat pembagian dan pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari sistemnya sendiri di mana BADAN eksekutifnya merupakan bagian dari badan legislatif. Badan eksekutifnya dinamakan bundesrat yang merupakan bagian dari bundesversammlung (legislatif) yang terdiri dari nationalrat-badan perwakilan nasional- dan standerat yang merupakan perwakilan dari negara-negara bagian yag disebut kanton.

·        Demokrasi totaliter
Demokrasi totaliter adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh sejarahwan Israel, J.L. Talmon untuk merujuk kepada suatu sistem pemerintahan di mana wakil rakyat yang terpilih secara sah mempertahankan kesatuan negara kebangsaan yang warga negaranya, meskipun memiliki hak untuk memilih, tidak banyak atau bahkan sama sekali tidak memiliki partisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. Ungkapan ini sebelumnya telah digunakan oleh Bertrand de Jouvenel dan E.H. Carr.









DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&hs=1sI&rls=org.mozilla:en-

2 comments:

  1. wah cantik tampilannya kak...
    saya adik tingkat kakak di CIVIC jga..
    mohon mampir ke blogs sya jga ya..
    www.ronikurosaky.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. like this blog ka'
    salam kenal, sy juga adek tingket kk di PPKn UNRAM

    ReplyDelete