Tuesday, June 19, 2012

MAKALAH DEMOKRASI HUKUM dan HAM ( Kedudukan Perempuan didalam negara Demokratis)


Kedudukan Perempuan di dalam Negara Demokratis


di susun oleh:
1.             Baiq Zuliawati                          : E1B 010 001
2.             Baiq Octarina D.S                    : E1B 010 020
3.             Nina Ruspina                           : E1B 010 035


PROGRAM STUDI PKn
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
        UNIVERSITAS MATARAM
2012



KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.
Penyusunan makalah “Kedudukan Perempuan didalam Negara Demokratis “  ini dibuat Penulis dalam rangka memenuhi tugas Demokrasi Hukum dan HAM
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Namun, Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Mataram,  Juni 2012

Penulis







DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................       i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN
A. Sejarah Feminisme                                                                             3
B. Kedudukan Perempuan................................................................... 4
1.      Bidang Politik                                                                              5
2.      Bidang Pendidikan.................................................................... 7
3.      Dalam Keluarga atau Masyarakat........................................... 7
C. Diskriminasi terhadap Perempuan................................................. 8
D. Hak Asasi Perempuan...................................................................... 9
E. Undang-Undang tentang Perempuan............................................. 11
1.      Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam rumah tangga............................................. 12
2.      Undang-Undang No.68 Tahun 1958 tentang Persetujuan
Konpensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita.............................. 19
3.      Undang-Undang No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi
 Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan................... 22
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 27
B.  Saran                                                                                                   27
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN               ........................................................................................................29

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman dan perkembangan waktu. Kini keberadaan perempuan bukan lagi dipandang sebelah mata. Dahulu perempuan dianggap hanya sebagai ibu rumah tangga, berdiam diri dirumah mengurus anak dan suami, membersihkan rumah. Perempuan juga tidak di izinkan untuk bersekolah tinggi-tinggi. Namun seiring perkembangan waktu, perempuan tidak lagi seperti kyang telah dikatakan tadi. Perempuan juga memiliki hak yang sama di dunia ini, mampu mengerjakan sesuatu yang lebih dari sekedar ibu rumah tangga.
Untunglah pahlawan kita Kartini telah memperjuangkan hak dan peran perempuan di Negara Indonesia. Perempuan menjadi bisa dipandang dan tidak diremehkan lagi oleh kaum adam. Oleh karena itu disinilah letak kepedulian kami dalam mempelajari dan mengkaji materi peran perempuan di dalam Negara Demokrasi. Semoga kita dapat pelajaran dan hikmah dari materi ini, terima kasih.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah sejarah Feminisme ?
2.      Bagaimanakah kedudukan perempuan di Bidang politik, pendidikan dan keluarga atau masyarakat?
3.      Bagaimanakah diskriminasi perempuan di Indonesia?
4.      Bagimanakah Hak Asasi yang dimiliki perempuan di Indonesia?
5.      Bagaimana bunyi Undang Undang  Tentang Perempuan?



C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui sejarah Feminisme.
2.      Untuk mengetahui kedudukan perempuan di Bidang Politik, Pendidikan, dan Keluarga atau masyarakat.
3.      Untuk mempelajari deskriminasi apa saja yang di dapatkan oleh perempuan.
4.      Untuk mempelajari Hak Asasi Apa saja yang dimiliki perempuan di Indonesia.
5.      Untuk mengetahui Undang Undang  tentang Perempuan.













BAB II
PEMBAHASAN
Perempuan adalah bagian dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Dalam keadaan krisis perekonomian, perempuanlah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan yang kritis, seringkali perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga, meluas sampai ke perekonomian rakyat.
A.    Sejarah Feminisme
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktik-praktik dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Pada tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
B.     Kedudukan Perempuan
Dilihat dari perkembangan zaman kedudukan perempuan saat ini telah mengalami perkembangan yang begitu mengembirakan. Sosok perempuan tidak lagi berada di dalam rumah saja, tetapi perempuan kini lebih mendominasi dibandingkan laki-laki.
Adapun kedudukan perempuan sudah berkembang di segala bidang yaitu sebagai berikut:
1.      Bidang Politik
Banyaknya perempuan yang bekerja di bidang politik saat ini telah menunjukkan peran perempuan yang lebih luas dalam membangun demokrasi di Indonesia. Perempuan tidak hanya dapat membangun kesadaran berdemokrasi dari lingkup keluarga, tapi juga menjadi bagian dari lembaga politik dan pemerintahan. Selanjutnya, Priyo Budi Santoso mencatat bahwa sejak bergulirnya era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, peran lebih besar perempuan dalam proses pengambilan kebijakan adalah sebuah keniscayaan. Kenyataan ini terindikasi dengan adanya trend positif peningkatan partisipasi politik kaum hawa tersebut di dalam kancah perpolitikan nasional.
Pada Pemilu tahun 1999 hanya terdapat 9% dari 462 anggota DPR RI yang merupakan anggota perempuan, namun pada Pemilu 2004 meningkat menjadi 11%. Peningkatan tersebut salah satunya didorong oleh lahirnya 2 UU di bidang politik, yaitu UU 31 tahun 2002 tentang Parpol dan UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu. Bahkan pada pemilu 2009 lalu angka prosentasenya telah mencapai 17% dari seluruh keanggotaan DPR RI yang berjumlah 560 orang.
Menanggapi keberhasilan Ibu Dr. Nurhayati Ali Assegaf, Wakil Ketua BKSAP, yang terpilih menjadi President of Coordinating Committee of Women Parliamentarians of the Inter-Parliamentary Union (IPU), mantan aktivis HMI ini mengatakan bahwa keberhasilan ini patut diapresiasi. “Keberhasilan DPR RI menduduki jabatan strategis tersebut menunjukkan bahwa parlemen- parlemen di seluruh dunia mengapresiasi peran perempuan di dalam transisi politik dan perkembangan demokrasi di Indonesia.
Oleh sebab itu, presidensi ini selain merupakan bentuk aktualisasi penajaman parliamentary diplomacy DPR RI di panggung diplomasi global yang tentunya memperjuangkan kepentingan perempuan dalam arus globalisasi yang semakin deras, juga dapat dijadikan bukti bahwa kaum perempuan di negara Indonesia yang notabene merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia mendapat kesempatan yang sama dalam berpolitik dan berdemokrasi. Fakta ini telah mengoreksi kekeliruan pandangan yang selama ini sering disampaikan oleh negara-negara Barat bahwa Islam adalah agama yang mengebiri hak-hak kaum perempuan.

2.      Bidang pendidikan
Gerakan wanita merupakan sebuah organisasi yang muncul berdasarkan ideologi sekumpulan wanita Indonesia yang berjuang menjunjung tinggi hak asasi wanita terutama dalam bidang pendidikan. Mereka memperjuangkan haknya agar kedudukan wanita setara dengan kaum lelaki. Tidak hanya berkutik di dapur mengurus suami berserta anak dan keluarganya. Para wanita berhak mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Sang pelopor organisasi, yaitu RA. Kartini bekerja sama dengan Belanda dalam mewujudkan cita-citanya membangun masyarakat wanita yang kaya ilmu dan pengetahuan. Ia menjadikan perkumpulan wanita Indonesia sebagai perserikatan yang berhaluan kooperatif terhadap pemerintah. Hal inidirealisasikan dengan diadakannya Kongres Perempuan.
Sedikit demi sedikit wanita Indonesia memilikikedudukan yang sama dengan kaum lelaki. Bahkan hingga sekarang wanita Indonesia lebih maju dari laki laki. Dapat di ambil contoh, bangsa Indonesia pernah dipimpin oleh seorang wanita. Itu menggambarkan betapa majunya wanita Indonesia pada masa kini. Dan itu merupakan penghargaan terbesar bagi mereka atas perjuangan dan kerja keras selama bertahun-tahun hingga akhirnya mereka mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan dan sekarang kita dapatmerasakan hasil dari perjuangan para wanita Indonesia tersebut.
3.      Dalam  Keluarga atau Masyarakat
Di dalam keluarga atau masyarakat kedudukan perempuan berada sebagai Ibu Rumah Tangga. Dimana setiap harinya perempuan yang sudah menikah akan mengurus anak dan suaminya. Perempuan sebagai sosok yang sangat dikagumi dalam rumah. Menyayangi, mendidik, membesarkan, dan menuntun anak-anak mereka bersama dengan suami. Perempuan harus menjaga harkat dan martabat suami didalam maupun di luar rumah. 
C.    Diskriminasi Terhadap Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan juga masih terjadi di Indonesia, keadaan ini ditandai oleh:
  1. Tradisi yang mewajibkan perempuan mengurus urusan rumah tangga, atau tradisi yang melarang perempuan mengemukakan pendapat dalam kondisi apa pun.
  2. Dalam bidang pendidikan, meskipun kesempatan sudah sangat terbuka bagi perempuan untuk sekolah setinggi-tingginya, namun bila biaya pendidikan dalam keluarga terbatas, maka anak perempuan harus mengalah kepada anak laki-laki. Bila beasiswa didapat oleh seorang perempuan bersuami, maka ijin dari suami mutlak didapatkan oleh sang isteri. Demikian pula, ketika seorang perempuan sudah menikah dan mempunyai anak, maka pendidikan pun biasanya dihentikan demi kepentingan keluarga.
  3. Dalam bidang ekonomi, menurut survei terakhir, pendapatan perempuan biasanya hanya 60% dari pendapatan pria untuk waktu kerja dan posisi yang sama, ditambah kesalahan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mendata pelaku ekonomi di sebuah keluarga. Bila sebuah keluarga, di mana seorang isteri berusaha di rumah seperti membuat kue atau pisang goreng untuk dijual, biasanya BPS hanya mendata isteri tersebut sebagai Ibu Rumah Tangga saja sehingga secara statistik, perempuan sedikit sekali berperan dalam sektor ekonomi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
  4. Dalam peningkatan karier di pekerjaan, meskipun perempuan mempunyai prestasi yang baik di sekolah maupun dalam pekerjaan, dalam penentuan kenaikan jabatan atau peningkatan karier perempuan, selalu dikalahkan dengan alasan yang sangat bias gender.
  5. Partisipasi politik perempuan di Indonesia hanya 11% di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan 22% di DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
  6. Dalam bidang kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan di Indonesia sangat tinggi karena gizi yang buruk, anemia dan aborsi. Aborsi pun banyak dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Indonesia karena sudah terlalu banyak anak. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian masyarakat, keluarga, dan para pejabat terhadap usaha pemberdayaan perempuan.
D.    Hak Asasi Perempuan
Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia. penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan .
Dari berbagai kajian tentang perempuan, terlihat bahwa kaum perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan kekerasan dalam segala bidang kehidupan . Berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan menghambat kemajuan perempuan. Bermacam usaha telah lama diperjuangkan untuk melindungi hak asasi perempuan dan kebebasan bagi perempuan, namun sampai dewasa ini hasilnya belum signifikan.
Mengatasi hal ini, di perlukan berbagai instrumen nasional tentang perlidungan hukum terhadap hak asasi perempuan. Di level Perserikatan Bangsa-Bangsa masalah perlindungan hak asasi perempuan sudah sangat dipahami antara lain melalui Deklarasi Beijing Platform, pada tahun 1995 yang melahirkan program –program penting untuk mencapai keadilan gender. Di Indonesia, sesungguhnya sudah cukup banyak perlindungan hukum terhadap hak asasi perempuan, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk kebijakan-kebijakan negara. Namun hak asasi perempuan masih belum terlindungi secara optimal.
Bila dicermati dengan seksama , sesungguhnya banyak kondisi –kondisi rawan terhadap kemajuan perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia. Dengan struktur masyarakat patriarkhi, secara sosio- kultural kaum laki-laki lebih diutamakan dari kaum perempuan, bahkan meminggirkan perempuan. Perilaku budaya yang menetapkan perempuan pada peran ibu dan isteri merupakan hambatan besar dalam pemajuan hak asasi perempuan. Disamping itu, interpretasi keliru dari ajaran agama tentang gender telah mengurangi universalitas hak asasi perempuan di Indonesia.
Dengan lambatnya pemajuan perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia, maka nampaknya diperlukan upaya-upaya disamping kegiatan sosialisasi yang optimal mengenai hak asasi perempuan, juga penambahan Peraturan Perundang-undangan tentang hak asasi perempuan. Disamping itu, dengan banyaknya masalah yang muncul tentang kehidupan perempuan, maka perangkat undang-undang masih sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan, seperti eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan, persoalan perempuan di wilayah konflik, prostitusi dan lain-lainnya.



E.     Undang –Undang Tentang Perempuan
Peraturan –peraturan terbaru yang terkait dengan pemberdayaan   perempuan   dan keluarga berencana.
a.       Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2010 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
b.       Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 06 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak.
c.       Peraturan Menteri Dalam Negeri no.15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum pelakasanaan PUG di Daerah.
d.      Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang PTPPO.










UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.              bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.             bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c.              bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan system hokum di Indonesia belum menjamin pelindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
d.             bahwa berdasarkan pertimbangan seba¬gaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu dibentuk Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;
Mengingat :  
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal  28I, Pasal 28J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam Iingkup rumah tangga.
4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
 Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a.  suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud  ada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.  orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.


BAB II
ASAS DAN TUJ UAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a.  penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c.  nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
a.  mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c.  menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam Iingkup rumah tangganya, dengan cara:
a.  kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c.  kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang  mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang  mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a.              pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.             pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam Iingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam Iingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang  mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. 
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan:
a.  perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga  sosial, atau pihak Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah  perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.  penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses  pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.  pelayanan bimbingan rohani.

BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 12
(1)     Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah ;
a.  merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam  rumah tangga;
c.  menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah  tangga; dan
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkari standar dan akreditasi pelayanan yang  sensitif gender.





















UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor: 68 TAHUN 1958 (68/1958)

Tanggal: 17 JULI 1958 (JAKARTA)

Sumber: LN 1958/119; TLN NO. 1653

Tentang: PERSETUJUAN KONPENSI HAK-HAK POLITIK KAUM WANITA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

Bahwa perlu konpensi hak-hak politik kaum wanita disetujui dengan Undang-undang;

Mengingat:

a. Pasal-pasal 89 dan 120 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
b. Pasal IV sub-sub konpensi tersebut;


Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

Undang-undang tentang Persetujuan Konpensi Hak-hak Politik Kaum Wanita.

Pasal 1.

Konpensi hak-hak politik kaum wanita tertanggal 20 Desember 1952 yang salinannya dilampirkan pada
Undang-undang ini, bersama ini disetujui dengan mengadakan reservations/pengecualian sebagai
tersebut pada pasal 2.

Pasal 2.

Kalimat terakhir pasal VII dan pasal IX seluruhnya konsepsi hak-hak politik kaum wanita dianggap
sebagai tidak berlaku bagi Indonesia.

Pasal 3.

Konpensi tersebut di atas mulai berlaku pada hari ke-90 sesudah tanggal penempatan surat ratifikasi
pada Sekretariat Perserikatan Bangsa-bangsa.

Pasal 4.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 1958.
Presiden Republik Indonesia,

SOEKARNO.

Diundangkan
pada tanggal 28 Agustus 1958.
Menteri Kehakiman.

G.A. MAENGKOM.

Menteri Luar Negeri,














Undang Undang
NOMOR 181 Taahun 1998
Nomor:: 181 TAHUN 1998 (181/1998) Tanggal:9 OKTOBER 1998 (JAKARTA)
TENTANG
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang ::
a. bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menjamin semua warga negara mempunyai
kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan;
b. bahwa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Tahun 1979
(Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women),
dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Wanita (Convention
Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment), dan Deklarasi PBB 1993 tentang Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan, segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia;
c. bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum, upaya yang
dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan perlu lebih ditingkatkan dan diwujudkan
secara nyata;
d. bahwa untuk memenuhi maksud tersebut dalam butir a, b, dan c, dipandang
perlu membentuk suatu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
yang bersifat independen;
Mengingat ::
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN ::
Menetapkan ::
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN.
BAB I
PEMBENTUKAN,ASAS, dan SIFAT
Pasal 1
Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap
perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan
terhadap perempuan, dibentuk Komisi yang bersifat nasional yang diberi nama
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Pasal 2
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan berasaskan Pancasila.
22
Pasal 3
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan bersifat independen.
BAB II
TUJUAN DAN KEGIATAN
Pasal 4
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan bertujuan :
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang berlangsung di Indonesia;
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan di Indonesia;
c. peningkatan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi manusia perempuan.
Pasal 5
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Komisi Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan melakukan kegiatan :
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
b. pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-
Bangsa mengenai perlindungan hak asasi manusia perempuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta menyampaikan berbagai saran dan
pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat dalam
rangka penyusunan dan penetapan peraturan dan kebijakan berkenaan dengan
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia bagi perempuan;
c. pemantauan dan penelitian, termasuk pencarian fakta, tentang segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan serta memberikan pendapat, saran dan
pertimbangan kepada pemerintah;
d. penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat;
e. pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam rangka meningkatkan
upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dalam
rangka mewujudkan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan.
BAB III
SUSUNAN ORGANISASI DAN KEANGGOTAAN
Pasal 6
Susunan organisasi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan terdiri
dari :
a. Komisi Paripurna;
b. Badan Pekerja.
33
Pasal 7
Anggota Komisi Paripurna adalah tokoh-tokoh yang :
a. telah aktif memperjuangkan hak asasi manusia dan/atau memajukan
kepentingan perempuan;
b. mengakui adanya masalah ketimpangan jender;
c. menghargai pluralitas agama dan ras/etnisitas dan peka terhadap perbedaan
kelas ekonomi;
d. peduli terhadap upaya pencegahan dan penghapusan segala bentuk tindak
kekerasan terhadap perempuan Indonesia.
Pasal 8
1. Komisi Paripurna terdiri dari 15 (lima belas) sampai dengan 21 (dua puluh satu)
orang anggota dengan seorang Ketua dan dua orang Wakil Ketua.
2. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Paripurna dipilih oleh anggota.
3. Untuk pertama kalinya anggota Komisi Paripurna diangkat oleh Presiden.
4. Komisi Paripurna menyediakan kursi keanggotaan bagi tokoh-tokoh daerah
yang memenuhi persyaratan anggota.
Pasal 9
Masa jabatan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Wakil
Ketua serta anggota Komisi Paripurna diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Komisi.
Pasal 10
Komisi Paripurna mengadakan Rapat Paripurna sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 11
Badan Pekerja dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, yang dipilih dan diangkat oleh
Komisi Paripurna.
Pasal 12
1. Badan Pekerja terdiri dari :
a. Divisi Pemantauan dan Penelitian;
b. Divisi Pengkajian dan Pembaharuan Perangkat Hukum;
c. Divisi Advokasi dan Pendidikan Masyarakat.
2. Setiap Divisi terdiri dari seorang Koordinator dan anggota Divisi sesuai dengan
kebutuhan.
Pasal 13
1. Sekretaris Jenderal bertugas mengelola pelaksanaan Program Kerja.
2. Sekretaris Jenderal bekerja purna waktu dan mendapatkan kompensasi atas
pekerjaannya.
3. Sekretaris Jenderal dicalonkan oleh Ketua Komisi Paripurna dan diangkat oleh
rapat anggota Komisi Paripurna.
44
Pasal 14
Masa kerja Sekretaris Jenderal akan ditentukan dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 15
Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal dibantu oleh Sekretaris,
beberapa Staf Administratif dan seorang penanggung jawab hubungan masyarakat.
BAB IV
PEMBIIAYAAN
Pasal 16
1. Segala pembiayaan sarana dan prasarana yang diperlukan bagi pelaksanaan
tugas Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dibebankan pada
Pemerintah.
2. Untuk pelaksanaan program kerja, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan dapat mencari sumber dana dari sumber-sumber lain dari
masyarakat luas yang tidak mengikat.
BAB V
PENUTUP
Pasal 17
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Oktober 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDIN JUSUF HABIBIE

BAB III
PENUTUP
B.     Kesimpulan
Ketimpangan dan kurangnya peran serta perempuan dan rendahnya Kualitas Hidup Perempuan (KHP), secara umum mengakibatkan lambatnya keberhasilan dalam Pembangunan Nasional. Bila KHP perempuan rendah dan tidak diajak untuk berperan serta dalam pembangunan, maka perempuan akan menjadi beban pembangunan. Sebaliknya, bila perempuan diberi kepercayaan untuk berperan dalam pembangunan nasional, maka perempuan akan menjadi mitra sejajar bagi laki-laki yang ikut bahu-membahu dan meringankan beban pembangunan.
C. Saran
Mari kita selaraskan pembangunan di Indonesia ini tanpa mendeskriminasikan perempuan. Perempuan merupakan sosok yang sangat penting bagi bangsa kita. Jangan membedakan jender laki-laki maupun perempuan. Perempuan bisa menempatkan diri sesuai dengan proposi mereka masing-masing. Disaat sedang melakukan tugas untuk bekerja, perempuan slalu bertanggung jawab atas pekerjaannya. Disaat untuk mengurrusi keluarga perempuan bisa melakukannya dengan baik. Mari kita perjuuangkan kedudukkan dan Hak Asasi Perempuan demi Pembangunan Bangsa ini.






DAFTAR PUSTAKA
id.wikipedia.org/wiki/Feminisme
ü  fis.um.ac.id/.../organisasi-perempuan-dan-perjuangan-nasional-awal-...
            mutiakharisma.blogspot.com/.../kedudukan-perempuan-di-bidang-po
















LAMPIRAN
SESI TANYA JAWAB
1.      Bagaimana hukumnya apabila perempuan lebih mendominasi daripada laki-laki?
Jawab :

Menurut UU Nomor::181 TAHUN 1998 (181/1998)
TENTANG KOMISI NASIONAL  ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
a. bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menjamin semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan;

b. bahwa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Tahun 1979 (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women),dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Wanita (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), dan Deklarasi PBB 1993 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia;

c. bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum, upaya yang dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan perlu lebih ditingkatkan dan diwujudkan secara nyata

d. bahwa untuk memenuhi maksud tersebut dalam butir a, b, dan c, dipandang perlu membentuk suatu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang bersifat independen.

Sesuai dengan penjelasan tersebut diatas , bahwa apabila perempuan lebih mendominasi daripada laki-laki , itu sah –sah saja karena sudah ada dasar hukumnya , hanya saja kembali lagi kapada si perempuan tadi, dominasi seperti apa yang dilakukannya, selain itu bagaimana orang disekitarnya serta seberapa besar tanggung jawab yang mampu di emban oleh perempuan tersebut berdasarkan dominasi yang dilakukannya.

Penanya         : Erlina Binti Mansyur
Penjawab       : Nina Ruspina
Tambahan     : Baiq Octarina D.S

2.      Bagaimana pandangan agama melihat dominasi perempuan yang terlalu besar dengan pandangan feminisme ?

Jawab :

Di sisi Allah pria dan wanita itu sama. Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 35 cukup memberi penjelasan. Baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat ampunan dan pahala yang sama besar jika mereka ta’at, sabar, bersedekah dan senantiasa mengingat Allah. Di ayat itu tidak ada pembedaan sama sekali lelaki yang bersedekah pahalanya lebih besar daripada perempuan bersedekah.  Amal sholeh dan keimanan dalam Islam tidak ditentukan jenis kelamin (QS. Ali-Imran: 195).
Laki-laki menjadi imam shalat bagi wanita, tidak dapat ditafsirkan bahwa imam itu pahalanya lebih besar daripada makmum yang wanita. Ini sekedar pembagian tugas berjamaah. Posisi laki-laki di depan dan jamaah wanita di belakang. Ini juga bukan pembedaan kedudukan di sisi Allah. Ini sekedar strategi managerial dalam mengatur kekhusyukan. Wanita itu, semua kalangan mengakui, jika ‘dipublish’ akan menarik perhatian pria.
Efek negative yang bisa ditimbulkan dari paham kesetaraan gender adalah ideologi relatifisme. Relativisme ini meniadakan syariah dalam mengatur hubungan antar manusia. Akibatnya,  mereka menghalalkan praktik homoseksual, sebab dianggap itu sebagai hak asasi manusia dan orientasi seksual itu sebuah pilihan yang tidak boleh dilawan, oleh syariah sekalipun. Dalam pandangan kaum feminis, menjadi lesbianis seorang perempuan memiliki kontrol yang sama dan tidak ada dominasi dalam hubungan seksual.
Hukumnya itu boleh , tergantung bagaimana orang disekitarnya memandang , yang terpenting dominasi seperti apa yang dilakukan oleh perempuan tersebut . Selain itu juga kegiatan yang perempuan lakukan diluar rumah  tersebut tidak boleh  melepaskan kodratnya sebagai wanita . Apabila ia telah bersuami maka segala kegiatannya diluar rumah harus mendapatkan restu dari suami terlebih dahulu,ia harus memenuhi segala kewajibannya di rumah sebagai istri dan ibu rumah tangga , setelah semua tanggung jawabnya selesai maka ia boleh beraktifitas diluar rumah , tentu saja setelah mendapat izin dari suami

Penanya         : Hafizah Awalia
Penjawab       : Baiq Octarina D.S
Tambahan     : Baiq Zuliawaty






3.      Apa tindakan pemerintah untuk mengatasi tindakan aborsi?

Jawab :

Secara hukum, aborsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 283, 299, 346, 348, 349, 535 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasa1 2 dan 1363. Pada intinya pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa tuntutan dikenakan bagi orang-orang yang melakukan aborsi ataupun orang-orang yang membantu melakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pada intinya hukum formal yang mengatur masalah aborsi menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menolak aborsi. Pengecualian diberikan jika ada indikasi medis sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Pasal 15 dan Pasal 80.

Keberadaan praktik aborsi kembali mendapat perhatian dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Meski demikian UU ini menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat karena adanya pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi.
           
Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, kembali menegaskan bahwa pada dasarnya UU melarang adanya praktik aborsi (Pasal 75 ayat 1).

Meski demikian larangan tersebut dikecualikan apabila ada:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baikyang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan (Pasal 75 ayat 2).Terlepas dari hukum formal yang mengatur, aborsi merupakan fenomena yang terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya agama yang hidup dalam masyarakat.
Tindakan yang dilakukan pemerintah  :

1.      Menghindari terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
2.      Tersedianya informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk   para kaula muda dapatmembantu memberi pengertian pada mereka tentang resiko yang berkaitan dengan hubungan seksual yang tidak aman, dan  tersedianya pengetahuan tentang cara-cara untuk mencegah  terjadinya  kehamilan yang tidak diinginkan dapat mengurangi terjadinya aborsi.


Penanya         : Imah Helviani
Penjawab       : Baiq Zuliawaty
Tambahan     : Baiq Octarina D.S

4.Bagaimana Peran wanita dalam Negara demokrasi Indonesia serta kedudukannya ?

Jawab :
Peran kaum perempuan dalam dunia politik di Indonesia sudah ada semenjak
lama, termasuk dalam masa-masa kolonialisme maupun kemerdekaan
 Globalisasi telah memberi peluang yang lebih baik terhadap kaum perempuan
untuk berperan secara wajar dan sejajar dengan kaum pria, baik dalam konteks
isu hak asasi manusia, demokratisasi maupun kesamaan gender
 Saat ini banyak perundang-undangan maupun peraturan lain yang mendorong
kaum perempuan agar dapat berkiprah secara lebih luas dalam berbagai sektor
kehidupan termasuk dalam konteks kehidupan politik
Peran kaum perempuan dalam berbagai bidang termasuk dalam konteks politik,
seharusnya tetap memperhatikan peran dan fungsi perempuan sebagai seorang
ibu dan sebagai seorang istri.
Politik yang dikatakan orang kejam dan kotor tak boleh menghambat kaum perempuan untuk ragu masuk dan terlibat di dalamnya, bahkan inilah waktunya bagi perempuan untuk masuk memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak melalui kekuatan nurani perempuan yang akan menjadi kekuatan penyeimbang dari tatanan lama yang amburadul akibat birokrasi yang korup maupun mauapun tata kelola pemerintahan yang jauh dari nilai-nilai demokratis.
Seiring dengan beragam persoalan yang dialami perempuan yang hak–haknya sering dirampas dan belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat,dimana masih tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan yang dilakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan perhatian serius secara politik.
Politik memang bukan satu–satunya solusi dalam memperjuangkan hak–hak perempuan dan masalah–masalah kaum hawa yang mengalami kekerasan fisik berupa penganiayaan dan teror. Tapi juga secara mental atau psikologis yang mengharuskan masalah itu dapat disembuhkan serta memulihkan rasa percaya diri secara normal sebagai seorang manusia. Mereka yang mengalami masalah akan mudah ditolong tatkala politik sebagai salah satu power dipegang individu yang punya komitmen politik yang kuat pada masalah perempuan.
Masalah politik inilah yang harus dipegang oleh orang–orang yang seyogyanya adalah perempuan itu sendiri. Bagaimanapun urusan-urusan perempuan secara psikologis dan kultur yang bersifat inheren atau menginternal lebih diketahui oleh perempuan sendiri. Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik yang sudah tersedia dalam jatah 30 % harus direbut oleh perempuan bila masalah–masalah perempuan yang seabrek ingin diminimalisir melalui kekuatan politik di parlemen mendatang.

Peran kaum perempuan di Indonesia khususnya di bidang politik, memperlihatkan pasang surut yang cukup dinamis dari masa ke masa. Pada dasarnya sudah ada semenjak sebelum kemerdekaan dikumandangkan, dimana pada saat pembentukan BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang terdiri dari 68 orang – dua diantaranya adalah perempuan, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso dan Ny. RSS Soenarjo Mangoenpoespito.
Begitu juga dalam konteks jabatan publik, pada tahun 1946 di masa pemerintahan kabinet Syahrir, untuk pertama kalinya dalam sejarah jabatan publik, seorang Maria Ulfa Santoso diangkat menjadi Menteri Sosial. Begitu juga pada masa pemerintahan kabinet Amir Syarifudin ( 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948), Ny. Sk Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan.
Pada Era reformasi sekarang ini, peran, fungsi dan kedudukan perempuan, mendapatkanpeluang yang besar besar untuk dapat berkarya di dalam segala aspek kehidupan. Walaupun hambatan-hambatan struktural maupun non struktural, masih sering kita jumpai – tetapi pada hakekatnya kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan diri secara maksimal semakin terbuka lebar. Berbagai bentuk Perundang-undangan (seperti masalah kekerasaan dalam rumah tangga) mulai diakomodir oleh pemerintah sebagai sebuah bentuk perlindungan kepada kaum perempuan. Oleh sebab itu kaum perempuan di Indonesia harus pandai-pandai melihat peluang dan memanfatkannya secara maksimal untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan sendiri
Penanya         : Asmawati
Penjawab       : Baiq Octarina D.S
Tambahan     : Baiq Zuliawaty

5.Kelemahan perempuan dalam berbagai bidang , khususnya bidang politik ?

Beberapa jenis hambatan yang masih dialami oleh sebagian besar perempuan di Indonesia:
Jawab :

1. Hambatan Kultural
Mayoritas masyarakat kita, masih didominasi oleh cara pandang dan sikap
yang cenderung melihat serta memperlakukan kaum perempuan sebagai
pelengkap kaum laki-laki. Persepsi semacam ini, tidak jarang pada akhirnya
melihat dan menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap laki-laki
bahkan dalam tingkat tertentu hanya dilihat sebagai objek semata. Secara
cultural dimana sudut pandang patrinial (laki-laki dilihat lebih superior)
menjadi acuan utama dalam melihat dan menempatkan perempuan, telah
menyebabkan peranan perempuan selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang
bersifat pelengkap kaum laki-laki, bukan sebagai mitra yang mempunyai
kedudukan sejajar sehingga berhak mendapatkan peluang yang sama
diberbagai bidang sendi kehidupan.
Hambatan kultural merupakan hambatan yang cukup fundamental karena
kultur/budaya akan membentuk persepsi dan persepsi pada akhirnya akan
bermuara pada pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu,
sudah menjadi kewajiban bersama untuk meluruskan cara pandang budaya
yang kurang tepat dalam memahami dan memandang kaum perempuan
sehingga kaum perempuan dapat memainkan peran dan fungsinya lebih
maksimal lagi.
2. Hambatan Sosial
Struktur sosial masyarakat kita yang cenderung menempatkan perempuan
sebagai “warga negara no 2 di bawah kaum laki-laki”, telah memberi
dampak tersendiri bagi keberadaan perempuan di tengah-tengah
masyarakat kita, termasuk dalam konteks hubungan suami-istri di
lingkungan rumah tangga.
Perempuan masih sering diposisikan sebagai pihak yang harus bersikap
“menerima” tanpa perlawanan (reserve) sehingga pada akhirnya kaum
perempuan lebih dilihat sebagai objek dari pada sebagai subjek yang
menjadi mitra kaum laki-laki. Kekerasaan rumah tangga yang sering
menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, adalah sebuah contoh
nyata dimana kaum perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari kaum laki-laki. Lahirnya UU
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) membuktikan bahwa sering sekali
terjadi kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan karena cara
pandang kaum pria terhadap perempuan. Begitu pula dalam kasus hubungan
suami-istri, kaum perempuan cenderung diperlakukan tidak sejajar dan
dalam posisi bargaining yang lemah sehingga dominasi dan ego kaum lakilaki
seolah-olah mendapatkan tempat yang lebih baik. Padahal dalam
konteks, penularan HIV/AIDS misalnya, kaum perempuan mempunyai resiko
2,5 kali lebih besar dari kaum laki-laki.

3. Hambatan Ekonomi
Dalam masalah karir, wanita juga masih mengalami diskriminasi diberbagai hal sehingga kaum perempuan tidak jarang diberlakukan kurang adil dan tidak proporsional. Dalam kasus PHK misalnya, kaum perempuan akan
menjadi pihak yang mempunyai resiko lebih besar di bandingkan kaum lakilaki.
Begitu pula dalam penetapan standar gaji, tidak jarang kaum
perempuan tidak mendapatkan haknya secara proporsional.

4. Hambatan Politik
Hambatan politik merupakan salah satu hambatan yang cukup besar yang
dihadapi kaum perempuan di Indonesia. Hal ini tidak hanya tercermin dalam
produk perundang-undangan maupun peraturan yang cenderung bersifat
“maskulin”, dimana segala sesuatu pokok masalah lebih dilihat dari
kacamata kepentingan kaum laki-laki, tetapi menyangkut pula masih
terbatasnya ruang yang tersedia bagi kaum perempuan untuk berkiprah
dalam posisi jabatan-jabatan publik. Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai
terlihat adanya keberpihakan dan pengakuan akan perlunya peranan kaum
perempuan dalam politik, namun kebijakan-kebijakan tersebut masih
diberlakukan “setengah hati” dan belum maksimal. Oleh sebab itu tidaklah
mengherankan apabila jumlah perempuan yang terjun dalam dunia politik
yang selalu di identikan dengan dunia laki-laki ini, masih sangat terbatas.
Begitu pula jumlah perempuan yang dapat mencapai posisi puncak dalam
jenjang birokrasi di pemerintahan, masih jauh dari harapan apabila melihat
komposisi jenis kelamin warga negara Indonesia tidak kurang dari 51%nya
adalah kaum perempuan.


Penanya         : Abdul Asis
Penjawab       : Nina Ruspina
Tambahan     : Baiq Octarina D.S


6.Kenapa zaman sekarang kesannya perempuan saja yang mau jadi seperti laki-laki seperti melawan kodratnya sebagai wanita ?

Jawab :

Meskipun kecenderungan persentase keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia terus meningkat dari pemilu ke pemilu, namun Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) masih pesimis dengan prospek keterwakilan perempuan pada pemilu 2014, karena Undang-undang Pemilu yang baru saja disahkan DPR
dianggap belum berpihak pada perempuan.

Bahwa perempuan dan anak masih menjadi korban utama dalam tindak kekerasan. Kekerasan psikis, fisik, seksual, eksploitasi dan penelantaran merupakan jenis kekerasan yang acapkali terjadi pada perempuan dan anak. Ironisnya lagi, dengan perbandingan angka yang cukup jauh, tindak kekerasan tercatat lebih sering terjadi dalam lingkungan rumah tangga. Sebanyak 8.081 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga, kemudian menyusul sebanyak 4.634 kasus terjadi di tempat kerja, dan 5.933 kasus terjadi di tempat publik lainnya.
Disamping itu, permasalahan kekerasan ini juga erat kaitannya dengan tindak kekerasan yang lebih spesifik berupa permasalahan trafficking. Masalah perdagangan orang merupakan fenomena kompleks yang hampir terjadi di semua daerah di Indonesia dan telah meluas menjadi kejahatan berjaringan antar negara (trans-national crime). Kejahatan ini telah menimbulkan banyak korban, khususnya perempuan dan anak. Umumnya korban terperangkap dalam kehidupan yang sama sekali tidak diinginkan dan penuh dengan penderitaan baik fisik maupun psikis, seperti dipaksa untuk bekerja sebagai pelayan cafe, salon, karaoke  dan panti pijat, bekerja tanpa kontrak kerja yang jelas, dijadikan pekerja rumah tangga dengan beban kerja dan jam kerja di luar batas normal, bekerja di pabrik dan industri lainnya dengan kondisi yang tidak layak, menjadi kurir narkoba karena janji-janji muluk diiming-imingi mau dinikahi dan ditipu dengan materi yang tidak seimbang dan berbagai bentuk kerja paksa lainnya. Di samping itu, multi efek perkawinan usia dini dan adopsi ilegal, perbudakan seksual atau dijadikan pelacur, pengemis, eksploitasi pornografi juga mengandung unsur perdagangan orang.
Jadi , hal tersebut hanya pendapat dari segelintir orang yang tidak tahu bagaimana kehidupan perempuan di Indonesia yang sebenarnya.

Penanya         : Irwan Budiana
Penjawab       : BaiqZuliawati
Tambahan     : Baiq Octarina D.S




1 comment: