Kedudukan Perempuan di dalam Negara Demokratis
di susun oleh:
1.
Baiq
Zuliawati : E1B
010 001
2.
Baiq Octarina
D.S : E1B 010 020
3.
Nina Ruspina : E1B 010 035
PROGRAM STUDI PKn
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2012
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat, taufik
dan hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan
pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.
Penyusunan
makalah “Kedudukan Perempuan didalam
Negara Demokratis “ ini dibuat
Penulis dalam rangka memenuhi tugas Demokrasi Hukum dan HAM
Penulis
menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Namun, Penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Penulis pada khususnya dan
pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Mataram,
Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan
Penulisan.............................................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN
A. Sejarah Feminisme 3
B.
Kedudukan Perempuan................................................................... 4
1. Bidang Politik 5
2. Bidang Pendidikan.................................................................... 7
3. Dalam Keluarga atau Masyarakat........................................... 7
C. Diskriminasi terhadap Perempuan................................................. 8
D. Hak Asasi Perempuan...................................................................... 9
E. Undang-Undang tentang Perempuan............................................. 11
1.
Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan
Kekerasan dalam rumah tangga............................................. 12
2.
Undang-Undang No.68 Tahun 1958 tentang
Persetujuan
Konpensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita.............................. 19
3.
Undang-Undang No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan................... 22
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 27
B. Saran 27
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN ........................................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seiring perkembangan zaman dan
perkembangan waktu. Kini keberadaan perempuan bukan lagi dipandang sebelah
mata. Dahulu perempuan dianggap hanya sebagai ibu rumah tangga, berdiam diri
dirumah mengurus anak dan suami, membersihkan rumah. Perempuan juga tidak di
izinkan untuk bersekolah tinggi-tinggi. Namun seiring perkembangan waktu,
perempuan tidak lagi seperti kyang telah dikatakan tadi. Perempuan juga
memiliki hak yang sama di dunia ini, mampu mengerjakan sesuatu yang lebih dari
sekedar ibu rumah tangga.
Untunglah pahlawan kita Kartini telah
memperjuangkan hak dan peran perempuan di Negara Indonesia. Perempuan menjadi
bisa dipandang dan tidak diremehkan lagi oleh kaum adam. Oleh karena itu
disinilah letak kepedulian kami dalam mempelajari dan mengkaji materi peran
perempuan di dalam Negara Demokrasi. Semoga kita dapat pelajaran dan hikmah
dari materi ini, terima kasih.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
sejarah Feminisme ?
2. Bagaimanakah
kedudukan perempuan di Bidang politik, pendidikan dan keluarga atau masyarakat?
3. Bagaimanakah
diskriminasi perempuan di Indonesia?
4. Bagimanakah
Hak Asasi yang dimiliki perempuan di Indonesia?
5. Bagaimana
bunyi Undang Undang Tentang Perempuan?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui sejarah Feminisme.
2. Untuk
mengetahui kedudukan perempuan di Bidang Politik, Pendidikan, dan Keluarga atau
masyarakat.
3. Untuk
mempelajari deskriminasi apa saja yang di dapatkan oleh perempuan.
4. Untuk
mempelajari Hak Asasi Apa saja yang dimiliki perempuan di Indonesia.
5. Untuk
mengetahui Undang Undang tentang
Perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
Perempuan
adalah bagian dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah
kesejahteraan masyarakat. Dalam keadaan krisis perekonomian, perempuanlah yang
paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan yang
kritis, seringkali perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan
masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari
perekonomian keluarga, meluas sampai ke perekonomian rakyat.
A.
Sejarah
Feminisme
Feminisme sebagai filsafat dan
gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis
de Condorcet.
Setelah Revolusi Amerika 1776 dan
Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang
beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan,
baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti
hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan
pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan
laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk
perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama
kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles
Fourier pada
tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika
dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection
of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang
Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk
mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum
perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh
kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan
politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang
berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar
rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami
perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk
situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktik-praktik dan kotbah-kotbah yang menunjang
hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan
beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan di Eropa untuk
"menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat
terjadi revolusi sosial dan politik. Pada tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul
"Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman)
yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan
praktik perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya
perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam
pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir
menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih
di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang
mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru,
menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah
politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.
Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene
Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan
kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh
nilai-nilai maskulin.
Banyak feminis-individualis kulit
putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada
perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
B.
Kedudukan
Perempuan
Dilihat
dari perkembangan zaman kedudukan perempuan saat ini telah mengalami
perkembangan yang begitu mengembirakan. Sosok perempuan tidak lagi berada di
dalam rumah saja, tetapi perempuan kini lebih mendominasi dibandingkan
laki-laki.
Adapun
kedudukan perempuan sudah berkembang di segala bidang yaitu sebagai berikut:
1. Bidang Politik
Banyaknya
perempuan yang bekerja di bidang politik saat ini telah menunjukkan peran
perempuan yang lebih luas dalam membangun demokrasi di Indonesia. Perempuan
tidak hanya dapat membangun kesadaran berdemokrasi dari lingkup keluarga, tapi
juga menjadi bagian dari lembaga politik dan pemerintahan. Selanjutnya, Priyo
Budi Santoso mencatat bahwa sejak bergulirnya era reformasi yang dimulai pada
tahun 1998, peran lebih besar perempuan dalam proses pengambilan kebijakan
adalah sebuah keniscayaan. Kenyataan ini terindikasi dengan adanya trend
positif peningkatan partisipasi politik kaum hawa tersebut di dalam kancah
perpolitikan nasional.
Pada
Pemilu tahun 1999 hanya terdapat 9% dari 462 anggota DPR RI yang merupakan
anggota perempuan, namun pada Pemilu 2004 meningkat menjadi 11%. Peningkatan
tersebut salah satunya didorong oleh lahirnya 2 UU di bidang politik, yaitu UU
31 tahun 2002 tentang Parpol dan UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu. Bahkan
pada pemilu 2009 lalu angka prosentasenya telah mencapai 17% dari seluruh
keanggotaan DPR RI yang berjumlah 560 orang.
Menanggapi
keberhasilan Ibu Dr. Nurhayati Ali Assegaf, Wakil Ketua BKSAP, yang terpilih
menjadi President of Coordinating Committee of Women Parliamentarians of the
Inter-Parliamentary Union (IPU), mantan aktivis HMI ini mengatakan bahwa
keberhasilan ini patut diapresiasi. “Keberhasilan DPR RI menduduki jabatan
strategis tersebut menunjukkan bahwa parlemen- parlemen di seluruh dunia
mengapresiasi peran perempuan di dalam transisi politik dan perkembangan
demokrasi di Indonesia.
Oleh sebab
itu, presidensi ini selain merupakan bentuk aktualisasi penajaman parliamentary
diplomacy DPR RI di panggung diplomasi global yang tentunya memperjuangkan
kepentingan perempuan dalam arus globalisasi yang semakin deras, juga dapat
dijadikan bukti bahwa kaum perempuan di negara Indonesia yang notabene
merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia mendapat
kesempatan yang sama dalam berpolitik dan berdemokrasi. Fakta ini telah
mengoreksi kekeliruan pandangan yang selama ini sering disampaikan oleh
negara-negara Barat bahwa Islam adalah agama yang mengebiri hak-hak kaum
perempuan.
2. Bidang
pendidikan
Gerakan wanita merupakan sebuah organisasi yang muncul
berdasarkan ideologi sekumpulan wanita Indonesia yang berjuang menjunjung
tinggi hak asasi wanita terutama dalam bidang
pendidikan. Mereka memperjuangkan haknya
agar kedudukan wanita setara dengan kaum lelaki. Tidak hanya berkutik di
dapur mengurus suami berserta anak dan keluarganya.
Para wanita berhak mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Sang
pelopor organisasi, yaitu RA. Kartini bekerja sama dengan Belanda dalam mewujudkan cita-citanya membangun masyarakat
wanita yang kaya ilmu dan pengetahuan. Ia menjadikan perkumpulan wanita
Indonesia sebagai perserikatan yang
berhaluan kooperatif terhadap pemerintah. Hal inidirealisasikan dengan
diadakannya Kongres Perempuan.
Sedikit demi sedikit wanita Indonesia memilikikedudukan
yang sama dengan kaum lelaki. Bahkan hingga sekarang wanita Indonesia lebih
maju dari laki laki. Dapat di ambil contoh, bangsa Indonesia pernah
dipimpin oleh seorang wanita. Itu menggambarkan betapa majunya wanita Indonesia pada masa kini. Dan itu merupakan
penghargaan terbesar bagi mereka atas perjuangan dan kerja keras selama
bertahun-tahun hingga akhirnya mereka mendapatkan
apa yang seharusnya mereka dapatkan dan sekarang kita dapatmerasakan
hasil dari perjuangan para wanita Indonesia tersebut.
3. Dalam
Keluarga atau Masyarakat
Di dalam keluarga atau masyarakat
kedudukan perempuan berada sebagai Ibu Rumah Tangga. Dimana setiap harinya
perempuan yang sudah menikah akan mengurus anak dan suaminya. Perempuan sebagai
sosok yang sangat dikagumi dalam rumah. Menyayangi, mendidik, membesarkan, dan
menuntun anak-anak mereka bersama dengan suami. Perempuan harus menjaga harkat
dan martabat suami didalam maupun di luar rumah.
C.
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Diskriminasi
terhadap perempuan juga masih terjadi di Indonesia, keadaan ini ditandai oleh:
- Tradisi yang mewajibkan perempuan mengurus urusan rumah tangga, atau tradisi yang melarang perempuan mengemukakan pendapat dalam kondisi apa pun.
- Dalam bidang pendidikan, meskipun kesempatan sudah sangat terbuka bagi perempuan untuk sekolah setinggi-tingginya, namun bila biaya pendidikan dalam keluarga terbatas, maka anak perempuan harus mengalah kepada anak laki-laki. Bila beasiswa didapat oleh seorang perempuan bersuami, maka ijin dari suami mutlak didapatkan oleh sang isteri. Demikian pula, ketika seorang perempuan sudah menikah dan mempunyai anak, maka pendidikan pun biasanya dihentikan demi kepentingan keluarga.
- Dalam bidang ekonomi, menurut survei terakhir, pendapatan perempuan biasanya hanya 60% dari pendapatan pria untuk waktu kerja dan posisi yang sama, ditambah kesalahan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mendata pelaku ekonomi di sebuah keluarga. Bila sebuah keluarga, di mana seorang isteri berusaha di rumah seperti membuat kue atau pisang goreng untuk dijual, biasanya BPS hanya mendata isteri tersebut sebagai Ibu Rumah Tangga saja sehingga secara statistik, perempuan sedikit sekali berperan dalam sektor ekonomi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
- Dalam peningkatan karier di pekerjaan, meskipun perempuan mempunyai prestasi yang baik di sekolah maupun dalam pekerjaan, dalam penentuan kenaikan jabatan atau peningkatan karier perempuan, selalu dikalahkan dengan alasan yang sangat bias gender.
- Partisipasi politik perempuan di Indonesia hanya 11% di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan 22% di DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
- Dalam bidang kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan di Indonesia sangat tinggi karena gizi yang buruk, anemia dan aborsi. Aborsi pun banyak dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Indonesia karena sudah terlalu banyak anak. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian masyarakat, keluarga, dan para pejabat terhadap usaha pemberdayaan perempuan.
D.
Hak Asasi Perempuan
Hak asasi Perempuan merupakan bagian
dari Hak asasi manusia. penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari
penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam
Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi
perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik lembaga-lembaga Negara (
eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai politik dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara perorangan punya tanggung jawab
untuk melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan .
Dari berbagai kajian tentang
perempuan, terlihat bahwa kaum perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan
kekerasan dalam segala bidang kehidupan . Berbagai bentuk diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan
menghambat kemajuan perempuan. Bermacam usaha telah lama diperjuangkan untuk
melindungi hak asasi perempuan dan kebebasan bagi perempuan, namun sampai
dewasa ini hasilnya belum signifikan.
Mengatasi hal ini, di perlukan
berbagai instrumen nasional tentang perlidungan hukum terhadap hak asasi
perempuan. Di level Perserikatan Bangsa-Bangsa masalah perlindungan hak asasi
perempuan sudah sangat dipahami antara lain melalui Deklarasi Beijing Platform,
pada tahun 1995 yang melahirkan program –program penting untuk mencapai
keadilan gender. Di Indonesia, sesungguhnya sudah cukup banyak perlindungan
hukum terhadap hak asasi perempuan, baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan maupun dalam bentuk kebijakan-kebijakan negara. Namun hak
asasi perempuan masih belum terlindungi secara optimal.
Bila dicermati dengan seksama ,
sesungguhnya banyak kondisi –kondisi rawan terhadap kemajuan perlindungan hak
asasi perempuan di Indonesia. Dengan struktur masyarakat patriarkhi, secara
sosio- kultural kaum laki-laki lebih diutamakan dari kaum perempuan, bahkan
meminggirkan perempuan. Perilaku budaya yang menetapkan perempuan pada peran
ibu dan isteri merupakan hambatan besar dalam pemajuan hak asasi perempuan.
Disamping itu, interpretasi keliru dari ajaran agama tentang gender telah
mengurangi universalitas hak asasi perempuan di Indonesia.
Dengan lambatnya pemajuan
perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia, maka nampaknya diperlukan
upaya-upaya disamping kegiatan sosialisasi yang optimal mengenai hak asasi perempuan,
juga penambahan Peraturan Perundang-undangan tentang hak asasi perempuan.
Disamping itu, dengan banyaknya masalah yang muncul tentang kehidupan
perempuan, maka perangkat undang-undang masih sangat diperlukan untuk mengatasi
persoalan-persoalan perempuan, seperti eksploitasi terhadap tenaga kerja
perempuan, persoalan perempuan di wilayah konflik, prostitusi dan lain-lainnya.
E. Undang
–Undang Tentang Perempuan
Peraturan
–peraturan terbaru yang terkait dengan pemberdayaan perempuan
dan keluarga berencana.
a.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2010 Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban
Kekerasan.
b. Peraturan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 06 tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak.
c. Peraturan
Menteri Dalam Negeri no.15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum pelakasanaan PUG di
Daerah.
d. Undang-undang Nomor 21 tahun 2007
tentang PTPPO.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan
falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
bahwa segala bentuk kekerasan, terutama
kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapus;
c.
bahwa dalam kenyataannya kasus
kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan system hokum di
Indonesia belum menjamin pelindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan
seba¬gaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu
dibentuk Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I,
Pasal 28J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah
tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam Iingkup rumah tangga.
4.
Perlindungan
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban
yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah
perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial
atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah
penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada
korban.
7. Menteri adalah menteri yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a.
suami,
isteri, dan anak;
b.
orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud ada
huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.
orang
yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana
dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama
berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJ UAN
ASAS DAN TUJ UAN
Pasal 3
Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a.
penghormatan
hak asasi manusia;
b.
keadilan
dan kesetaraan gender;
c.
nondiskriminasi;
dan
d.
perlindungan
korban
Pasal
4
Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
a.
mencegah
segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b.
melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga;
c.
menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d.
memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap
orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
Iingkup rumah tangganya, dengan cara:
a.
kekerasan
fisik;
b.
kekerasan
psikis;
c.
kekerasan
seksual; atau
d.
penelantaran
rumah tangga
Pasal 6
Kekerasan
fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan
psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
Pasal 8
Kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a.
pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut;
b.
pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam Iingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
1.
Setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam Iingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud
ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban
berhak mendapatkan:
a.
perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
b.
pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.
penanganan
secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d.
pendampingan
oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.
pelayanan
bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah
bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pemerintah ;
a.
merumuskan
kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b.
menyelenggarakan
komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c.
menyelenggarakan
sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d.
menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga
serta menetapkari standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 68 TAHUN 1958 (68/1958)
Tanggal: 17 JULI 1958 (JAKARTA)
Sumber: LN 1958/119; TLN NO. 1653
Tentang: PERSETUJUAN KONPENSI
HAK-HAK POLITIK KAUM WANITA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
Bahwa perlu konpensi hak-hak politik
kaum wanita disetujui dengan Undang-undang;
Mengingat:
a. Pasal-pasal 89 dan 120
Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
b. Pasal IV sub-sub konpensi
tersebut;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
Undang-undang tentang Persetujuan
Konpensi Hak-hak Politik Kaum Wanita.
Pasal 1.
Konpensi hak-hak politik kaum wanita
tertanggal 20 Desember 1952 yang salinannya dilampirkan pada
Undang-undang ini, bersama ini
disetujui dengan mengadakan reservations/pengecualian sebagai
tersebut pada pasal 2.
Pasal 2.
Kalimat terakhir pasal VII dan pasal
IX seluruhnya konsepsi hak-hak politik kaum wanita dianggap
sebagai tidak berlaku bagi
Indonesia.
Pasal 3.
Konpensi tersebut di atas mulai
berlaku pada hari ke-90 sesudah tanggal penempatan surat ratifikasi
pada Sekretariat Perserikatan
Bangsa-bangsa.
Pasal 4.
Undang-undang ini mulai berlaku pada
hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatan dalam
Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 1958.
Presiden Republik Indonesia,
SOEKARNO.
Diundangkan
pada tanggal 28 Agustus 1958.
Menteri Kehakiman.
G.A. MAENGKOM.
Menteri Luar Negeri,
Undang Undang
NOMOR 181 Taahun 1998
Nomor:: 181 TAHUN 1998 (181/1998) Tanggal:9 OKTOBER 1998 (JAKARTA)
TENTANG
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang ::
a. bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menjamin semua warga negara
mempunyai
kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan;
b. bahwa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi
Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Tahun 1979
(Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women),
dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Wanita
(Convention
Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment), dan Deklarasi PBB 1993 tentang Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan, segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi
manusia;
c. bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum,
upaya yang
dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya dan menghapus segala
bentuk
kekerasan terhadap perempuan perlu lebih ditingkatkan dan
diwujudkan
secara nyata;
d. bahwa untuk memenuhi maksud tersebut dalam butir a, b, dan c,
dipandang
perlu membentuk suatu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan
yang bersifat independen;
Mengingat ::
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN ::
Menetapkan ::
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN.
BAB I
PEMBENTUKAN,ASAS, dan SIFAT
Pasal 1
Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan
terhadap
perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang
dilakukan
terhadap perempuan, dibentuk Komisi yang bersifat nasional yang
diberi nama
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Pasal 2
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan berasaskan
Pancasila.
22
Pasal 3
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan bersifat
independen.
BAB II
TUJUAN DAN KEGIATAN
Pasal 4
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan bertujuan :
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang berlangsung di Indonesia;
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala
bentuk
kekerasan terhadap perempuan di Indonesia;
c. peningkatan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi manusia perempuan.
Pasal 5
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Komisi
Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan melakukan kegiatan :
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan
serta
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
b. pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen
Perserikatan Bangsa-
Bangsa mengenai perlindungan hak asasi manusia perempuan dan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta menyampaikan berbagai saran
dan
pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat
dalam
rangka penyusunan dan penetapan peraturan dan kebijakan berkenaan
dengan
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan dan penegakan hak
asasi
manusia bagi perempuan;
c. pemantauan dan penelitian, termasuk pencarian fakta, tentang
segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan serta memberikan pendapat, saran dan
pertimbangan kepada pemerintah;
d. penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya
segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat;
e. pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam rangka
meningkatkan
upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan
dalam
rangka mewujudkan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan.
BAB III
SUSUNAN ORGANISASI DAN KEANGGOTAAN
Pasal 6
Susunan organisasi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan terdiri
dari :
a. Komisi Paripurna;
b. Badan Pekerja.
33
Pasal 7
Anggota Komisi Paripurna adalah tokoh-tokoh yang :
a. telah aktif memperjuangkan hak asasi manusia dan/atau memajukan
kepentingan perempuan;
b. mengakui adanya masalah ketimpangan jender;
c. menghargai pluralitas agama dan ras/etnisitas dan peka terhadap
perbedaan
kelas ekonomi;
d. peduli terhadap upaya pencegahan dan penghapusan segala bentuk
tindak
kekerasan terhadap perempuan Indonesia.
Pasal 8
1. Komisi Paripurna terdiri dari 15 (lima belas) sampai dengan 21
(dua puluh satu)
orang anggota dengan seorang Ketua dan dua orang Wakil Ketua.
2. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Paripurna dipilih oleh anggota.
3. Untuk pertama kalinya anggota Komisi Paripurna diangkat oleh
Presiden.
4. Komisi Paripurna menyediakan kursi keanggotaan bagi tokoh-tokoh
daerah
yang memenuhi persyaratan anggota.
Pasal 9
Masa jabatan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Ketua
dan Wakil
Ketua serta anggota Komisi Paripurna diatur dalam Anggaran Dasar
dan Anggaran
Rumah Tangga Komisi.
Pasal 10
Komisi Paripurna mengadakan Rapat Paripurna sekurang-kurangnya 1
(satu) kali
dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 11
Badan Pekerja dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, yang dipilih dan
diangkat oleh
Komisi Paripurna.
Pasal 12
1. Badan Pekerja terdiri dari :
a. Divisi Pemantauan dan Penelitian;
b. Divisi Pengkajian dan Pembaharuan Perangkat Hukum;
c. Divisi Advokasi dan Pendidikan Masyarakat.
2. Setiap Divisi terdiri dari seorang Koordinator dan anggota
Divisi sesuai dengan
kebutuhan.
Pasal 13
1. Sekretaris Jenderal bertugas mengelola pelaksanaan Program
Kerja.
2. Sekretaris Jenderal bekerja purna waktu dan mendapatkan
kompensasi atas
pekerjaannya.
3. Sekretaris Jenderal dicalonkan oleh Ketua Komisi Paripurna dan
diangkat oleh
rapat anggota Komisi Paripurna.
44
Pasal 14
Masa kerja Sekretaris Jenderal akan ditentukan dalam Anggaran
Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 15
Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal dibantu oleh
Sekretaris,
beberapa Staf Administratif dan seorang penanggung jawab hubungan
masyarakat.
BAB IV
PEMBIIAYAAN
Pasal 16
1. Segala pembiayaan sarana dan prasarana yang diperlukan bagi
pelaksanaan
tugas Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dibebankan
pada
Pemerintah.
2. Untuk pelaksanaan program kerja, Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap
Perempuan dapat mencari sumber dana dari sumber-sumber lain dari
masyarakat luas yang tidak mengikat.
BAB V
PENUTUP
Pasal 17
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Oktober 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDIN JUSUF HABIBIE
BAB III
PENUTUP
B.
Kesimpulan
Ketimpangan
dan kurangnya peran serta perempuan dan rendahnya Kualitas Hidup Perempuan
(KHP), secara umum mengakibatkan lambatnya keberhasilan dalam Pembangunan
Nasional. Bila KHP perempuan rendah dan tidak diajak untuk berperan serta dalam
pembangunan, maka perempuan akan menjadi beban pembangunan. Sebaliknya, bila
perempuan diberi kepercayaan untuk berperan dalam pembangunan nasional, maka
perempuan akan menjadi mitra sejajar bagi laki-laki yang ikut bahu-membahu dan
meringankan beban pembangunan.
C. Saran
Mari kita selaraskan pembangunan di
Indonesia ini tanpa mendeskriminasikan perempuan. Perempuan merupakan sosok
yang sangat penting bagi bangsa kita. Jangan membedakan jender laki-laki maupun
perempuan. Perempuan bisa menempatkan diri sesuai dengan proposi mereka
masing-masing. Disaat sedang melakukan tugas untuk bekerja, perempuan slalu
bertanggung jawab atas pekerjaannya. Disaat untuk mengurrusi keluarga perempuan
bisa melakukannya dengan baik. Mari kita perjuuangkan kedudukkan dan Hak Asasi
Perempuan demi Pembangunan Bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
id.wikipedia.org/wiki/Feminisme
ü fis.um.ac.id/.../organisasi-perempuan-dan-perjuangan-nasional-awal-...
mutiakharisma.blogspot.com/.../kedudukan-perempuan-di-bidang-po
LAMPIRAN
SESI
TANYA JAWAB
1. Bagaimana hukumnya apabila
perempuan lebih mendominasi daripada laki-laki?
Jawab
:
Menurut UU Nomor::181 TAHUN 1998
(181/1998)
TENTANG
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN
a. bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menjamin semua
warga negara mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan;
b. bahwa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
Tahun 1979 (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women),dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Wanita (Convention Against
Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), dan
Deklarasi PBB 1993 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran
atas hak-hak asasi manusia;
c. bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip negara
berdasar atas hukum, upaya yang dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya dan
menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan perlu lebih ditingkatkan
dan diwujudkan secara nyata
d. bahwa untuk memenuhi maksud tersebut dalam butir
a, b, dan c, dipandang perlu membentuk suatu Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan yang bersifat independen.
Sesuai dengan penjelasan tersebut diatas , bahwa
apabila perempuan lebih mendominasi daripada laki-laki , itu sah –sah saja
karena sudah ada dasar hukumnya , hanya saja kembali lagi kapada si perempuan
tadi, dominasi seperti apa yang dilakukannya, selain itu bagaimana orang
disekitarnya serta seberapa besar tanggung jawab yang mampu di emban oleh
perempuan tersebut berdasarkan dominasi yang dilakukannya.
Penanya : Erlina Binti Mansyur
Penjawab : Nina Ruspina
Tambahan
: Baiq Octarina D.S
2. Bagaimana
pandangan agama melihat dominasi perempuan yang terlalu besar dengan pandangan
feminisme ?
Jawab
:
Di sisi Allah pria dan wanita itu sama. Al-Qur’an
surat al-Ahzab ayat 35 cukup memberi penjelasan. Baik laki-laki maupun
perempuan akan mendapat ampunan dan pahala yang sama besar jika mereka ta’at,
sabar, bersedekah dan senantiasa mengingat Allah. Di ayat itu tidak ada
pembedaan sama sekali lelaki yang bersedekah pahalanya lebih besar daripada perempuan
bersedekah. Amal sholeh dan keimanan
dalam Islam tidak ditentukan jenis kelamin (QS. Ali-Imran: 195).
Laki-laki menjadi imam shalat bagi wanita, tidak
dapat ditafsirkan bahwa imam itu pahalanya lebih besar daripada makmum yang
wanita. Ini sekedar pembagian tugas berjamaah. Posisi laki-laki di depan dan
jamaah wanita di belakang. Ini juga bukan pembedaan kedudukan di sisi Allah.
Ini sekedar strategi managerial dalam mengatur kekhusyukan. Wanita itu, semua
kalangan mengakui, jika ‘dipublish’ akan menarik perhatian pria.
Efek
negative yang bisa ditimbulkan dari paham kesetaraan gender adalah ideologi
relatifisme. Relativisme ini meniadakan syariah dalam mengatur hubungan antar
manusia. Akibatnya, mereka menghalalkan
praktik homoseksual, sebab dianggap itu sebagai hak asasi manusia dan orientasi
seksual itu sebuah pilihan yang tidak boleh dilawan, oleh syariah sekalipun.
Dalam pandangan kaum feminis, menjadi lesbianis seorang perempuan memiliki
kontrol yang sama dan tidak ada dominasi dalam hubungan seksual.
Hukumnya itu boleh , tergantung
bagaimana orang disekitarnya memandang , yang terpenting dominasi seperti apa
yang dilakukan oleh perempuan tersebut . Selain itu juga kegiatan yang
perempuan lakukan diluar rumah tersebut
tidak boleh melepaskan kodratnya sebagai
wanita . Apabila ia telah bersuami maka segala kegiatannya diluar rumah harus
mendapatkan restu dari suami terlebih dahulu,ia harus memenuhi segala
kewajibannya di rumah sebagai istri dan ibu rumah tangga , setelah semua
tanggung jawabnya selesai maka ia boleh beraktifitas diluar rumah , tentu saja
setelah mendapat izin dari suami
Penanya : Hafizah Awalia
Penjawab : Baiq Octarina D.S
Tambahan
: Baiq Zuliawaty
3. Apa
tindakan pemerintah untuk mengatasi tindakan aborsi?
Jawab
:
Secara
hukum, aborsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 283, 299,
346, 348, 349, 535 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasa1 2 dan 1363. Pada
intinya pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa tuntutan dikenakan bagi
orang-orang yang melakukan aborsi ataupun orang-orang yang membantu melakukan
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pada
intinya hukum formal yang mengatur masalah aborsi menyatakan bahwa pemerintah
Indonesia menolak aborsi. Pengecualian diberikan jika ada indikasi medis
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Pasal
15 dan Pasal 80.
Keberadaan
praktik aborsi kembali mendapat perhatian dengan disyahkannya Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Meski demikian UU ini menimbulkan kontroversi
diberbagai lapisan masyarakat karena adanya pasal-pasal yang mengatur mengenai
aborsi dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi.
Pasal 75 dan 76
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, kembali menegaskan bahwa pada dasarnya UU
melarang adanya praktik aborsi (Pasal 75 ayat 1).
Meski
demikian larangan tersebut dikecualikan apabila ada:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi
sejak usia dini kehamilan, baikyang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang
menderita penyakit
genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b.
kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan (Pasal 75 ayat
2).Terlepas dari hukum formal yang mengatur, aborsi merupakan fenomena yang
terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya agama yang hidup dalam masyarakat.
Tindakan
yang dilakukan pemerintah :
1. Menghindari
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
2. Tersedianya
informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk para kaula muda dapatmembantu memberi
pengertian pada mereka tentang resiko yang berkaitan dengan hubungan seksual
yang tidak aman, dan tersedianya
pengetahuan tentang cara-cara untuk mencegah
terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan dapat mengurangi terjadinya aborsi.
Penanya : Imah Helviani
Penjawab : Baiq Zuliawaty
Tambahan : Baiq Octarina D.S
4.Bagaimana
Peran wanita dalam Negara demokrasi Indonesia serta kedudukannya ?
Jawab
:
Peran kaum
perempuan dalam dunia politik di Indonesia sudah ada semenjak
lama, termasuk
dalam masa-masa kolonialisme maupun kemerdekaan
Globalisasi telah memberi peluang yang lebih
baik terhadap kaum perempuan
untuk berperan
secara wajar dan sejajar dengan kaum pria, baik dalam konteks
isu hak asasi
manusia, demokratisasi maupun kesamaan gender
Saat ini banyak perundang-undangan maupun
peraturan lain yang mendorong
kaum perempuan
agar dapat berkiprah secara lebih luas dalam berbagai sektor
kehidupan
termasuk dalam konteks kehidupan politik
Peran kaum
perempuan dalam berbagai bidang termasuk dalam konteks politik,
seharusnya tetap
memperhatikan peran dan fungsi perempuan sebagai seorang
ibu dan sebagai
seorang istri.
Politik yang
dikatakan orang kejam dan kotor tak boleh menghambat kaum perempuan untuk ragu
masuk dan terlibat di dalamnya, bahkan inilah waktunya bagi perempuan untuk
masuk memperbaiki tatanan masyarakat yang rusak melalui kekuatan nurani
perempuan yang akan menjadi kekuatan penyeimbang dari tatanan lama yang
amburadul akibat birokrasi yang korup maupun mauapun tata kelola pemerintahan
yang jauh dari nilai-nilai demokratis.
Seiring
dengan beragam persoalan yang dialami perempuan yang hak–haknya sering dirampas
dan belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat,dimana
masih tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan yang dilakukan
oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan
perhatian serius secara politik.
Politik
memang bukan satu–satunya solusi dalam memperjuangkan hak–hak perempuan dan
masalah–masalah kaum hawa yang mengalami kekerasan fisik berupa penganiayaan
dan teror. Tapi juga secara mental atau psikologis yang mengharuskan masalah
itu dapat disembuhkan serta memulihkan rasa percaya diri secara normal sebagai
seorang manusia. Mereka yang mengalami masalah akan mudah ditolong tatkala
politik sebagai salah satu power dipegang individu yang punya komitmen
politik yang kuat pada masalah perempuan.
Masalah
politik inilah yang harus dipegang oleh orang–orang yang seyogyanya adalah
perempuan itu sendiri. Bagaimanapun urusan-urusan perempuan secara psikologis
dan kultur yang bersifat inheren atau menginternal lebih diketahui oleh
perempuan sendiri. Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik
yang sudah tersedia dalam jatah 30 % harus direbut oleh perempuan bila
masalah–masalah perempuan yang seabrek ingin diminimalisir melalui kekuatan
politik di parlemen mendatang.
Peran
kaum perempuan di Indonesia khususnya di bidang politik, memperlihatkan pasang
surut yang cukup dinamis dari masa ke masa. Pada dasarnya sudah ada semenjak
sebelum kemerdekaan dikumandangkan, dimana pada saat pembentukan BPUPKI (Badan
Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang terdiri dari 68 orang
– dua diantaranya adalah perempuan, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso dan Ny. RSS
Soenarjo Mangoenpoespito.
Begitu
juga dalam konteks jabatan publik, pada tahun 1946 di masa pemerintahan kabinet
Syahrir, untuk pertama kalinya dalam sejarah jabatan publik, seorang Maria Ulfa
Santoso diangkat menjadi Menteri Sosial. Begitu juga pada masa pemerintahan
kabinet Amir Syarifudin ( 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948), Ny. Sk Trimurti
diangkat sebagai Menteri Perburuhan.
Pada
Era reformasi sekarang ini, peran, fungsi dan kedudukan perempuan,
mendapatkanpeluang yang besar besar untuk dapat berkarya di dalam segala aspek
kehidupan. Walaupun hambatan-hambatan struktural maupun non struktural, masih
sering kita jumpai – tetapi pada hakekatnya kesempatan untuk dapat
mengaktualisasikan diri secara maksimal semakin terbuka lebar. Berbagai bentuk
Perundang-undangan (seperti masalah kekerasaan dalam rumah tangga) mulai
diakomodir oleh pemerintah sebagai sebuah bentuk perlindungan kepada kaum
perempuan. Oleh sebab itu kaum perempuan di Indonesia harus pandai-pandai melihat
peluang dan memanfatkannya secara maksimal untuk meningkatkan harkat dan
martabat kaum perempuan sendiri
Penanya : Asmawati
Penjawab : Baiq Octarina D.S
Tambahan
: Baiq Zuliawaty
5.Kelemahan
perempuan dalam berbagai bidang , khususnya bidang politik ?
Beberapa
jenis hambatan yang masih dialami oleh sebagian besar perempuan di Indonesia:
Jawab
:
1. Hambatan
Kultural
Mayoritas masyarakat kita, masih didominasi oleh
cara pandang dan sikap
yang
cenderung melihat serta memperlakukan kaum perempuan sebagai
pelengkap
kaum laki-laki. Persepsi semacam ini, tidak jarang pada akhirnya
melihat
dan menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap laki-laki
bahkan
dalam tingkat tertentu hanya dilihat sebagai objek semata. Secara
cultural
dimana
sudut pandang patrinial (laki-laki dilihat lebih superior)
menjadi
acuan utama dalam melihat dan menempatkan perempuan, telah
menyebabkan
peranan perempuan selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang
bersifat
pelengkap kaum laki-laki, bukan sebagai mitra yang mempunyai
kedudukan
sejajar sehingga berhak mendapatkan peluang yang sama
diberbagai
bidang sendi kehidupan.
Hambatan
kultural merupakan hambatan yang cukup fundamental karena
kultur/budaya
akan membentuk persepsi dan persepsi pada akhirnya akan
bermuara
pada pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu,
sudah
menjadi kewajiban bersama untuk meluruskan cara pandang budaya
yang
kurang tepat dalam memahami dan memandang kaum perempuan
sehingga
kaum perempuan dapat memainkan peran dan fungsinya lebih
maksimal
lagi.
2.
Hambatan Sosial
Struktur sosial masyarakat kita yang cenderung
menempatkan perempuan
sebagai
“warga negara no 2 di bawah kaum laki-laki”, telah memberi
dampak
tersendiri bagi keberadaan perempuan di tengah-tengah
masyarakat
kita, termasuk dalam konteks hubungan suami-istri di
lingkungan
rumah tangga.
Perempuan
masih sering diposisikan sebagai pihak yang harus bersikap
“menerima”
tanpa perlawanan (reserve) sehingga pada akhirnya kaum
perempuan
lebih dilihat sebagai objek dari pada sebagai subjek yang
menjadi
mitra kaum laki-laki. Kekerasaan rumah tangga yang sering
menempatkan
perempuan pada posisi yang lemah, adalah sebuah contoh
nyata
dimana kaum perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan
ketidakadilan
dan kesewenang-wenangan dari kaum laki-laki. Lahirnya UU
KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga) membuktikan bahwa sering sekali
terjadi
kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan karena cara
pandang
kaum pria terhadap perempuan. Begitu pula dalam kasus hubungan
suami-istri,
kaum perempuan cenderung diperlakukan tidak sejajar dan
dalam
posisi bargaining yang lemah sehingga dominasi dan ego kaum lakilaki
seolah-olah
mendapatkan tempat yang lebih baik. Padahal dalam
konteks,
penularan HIV/AIDS misalnya, kaum perempuan mempunyai resiko
2,5
kali lebih besar dari kaum laki-laki.
3.
Hambatan Ekonomi
Dalam masalah karir, wanita juga masih mengalami
diskriminasi diberbagai hal sehingga kaum perempuan tidak jarang diberlakukan
kurang adil dan tidak proporsional. Dalam kasus PHK misalnya, kaum perempuan
akan
menjadi
pihak yang mempunyai resiko lebih besar di bandingkan kaum lakilaki.
Begitu
pula dalam penetapan standar gaji, tidak jarang kaum
perempuan
tidak mendapatkan haknya secara proporsional.
4.
Hambatan Politik
Hambatan politik merupakan salah satu hambatan yang
cukup besar yang
dihadapi
kaum perempuan di Indonesia. Hal ini tidak hanya tercermin dalam
produk
perundang-undangan maupun peraturan yang cenderung bersifat
“maskulin”,
dimana segala sesuatu pokok masalah lebih dilihat dari
kacamata
kepentingan kaum laki-laki, tetapi menyangkut pula masih
terbatasnya
ruang yang tersedia bagi kaum perempuan untuk berkiprah
dalam
posisi jabatan-jabatan publik. Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai
terlihat
adanya keberpihakan dan pengakuan akan perlunya peranan kaum
perempuan
dalam politik, namun kebijakan-kebijakan tersebut masih
diberlakukan
“setengah hati” dan belum maksimal. Oleh sebab itu tidaklah
mengherankan
apabila jumlah perempuan yang terjun dalam dunia politik
yang
selalu di identikan dengan dunia laki-laki ini, masih sangat terbatas.
Begitu
pula jumlah perempuan yang dapat mencapai posisi puncak dalam
jenjang
birokrasi di pemerintahan, masih jauh dari harapan apabila melihat
komposisi
jenis kelamin warga negara Indonesia tidak kurang dari 51%nya
adalah
kaum perempuan.
Penanya : Abdul Asis
Penjawab : Nina Ruspina
Tambahan
: Baiq Octarina D.S
6.Kenapa zaman sekarang kesannya
perempuan saja yang mau jadi seperti laki-laki seperti melawan kodratnya
sebagai wanita ?
Jawab :
Meskipun kecenderungan persentase
keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia terus meningkat dari pemilu ke
pemilu, namun Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) masih pesimis dengan prospek
keterwakilan perempuan pada pemilu 2014, karena Undang-undang Pemilu yang baru
saja disahkan DPR
dianggap belum berpihak pada perempuan.
Bahwa perempuan
dan anak masih menjadi korban utama dalam tindak kekerasan. Kekerasan psikis,
fisik, seksual, eksploitasi dan
penelantaran merupakan jenis kekerasan yang acapkali terjadi pada perempuan dan
anak. Ironisnya lagi, dengan perbandingan angka yang cukup jauh, tindak
kekerasan tercatat lebih sering terjadi dalam lingkungan rumah tangga. Sebanyak
8.081 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga, kemudian
menyusul sebanyak 4.634 kasus terjadi di tempat kerja, dan 5.933 kasus terjadi
di tempat publik lainnya.
Disamping itu, permasalahan kekerasan ini juga erat kaitannya dengan tindak
kekerasan yang lebih spesifik berupa permasalahan trafficking. Masalah perdagangan orang
merupakan fenomena kompleks yang hampir terjadi di semua daerah di Indonesia
dan telah meluas menjadi kejahatan berjaringan antar negara (trans-national
crime). Kejahatan ini telah menimbulkan banyak korban, khususnya perempuan
dan anak. Umumnya korban terperangkap dalam kehidupan yang sama sekali tidak
diinginkan dan penuh dengan penderitaan baik fisik maupun psikis, seperti
dipaksa untuk bekerja sebagai pelayan cafe, salon, karaoke dan panti
pijat, bekerja tanpa kontrak kerja yang jelas, dijadikan pekerja rumah tangga
dengan beban kerja dan jam kerja di luar batas normal, bekerja di pabrik dan
industri lainnya dengan kondisi yang tidak layak, menjadi kurir narkoba karena
janji-janji muluk diiming-imingi mau dinikahi dan ditipu dengan materi yang tidak
seimbang dan berbagai bentuk kerja paksa lainnya. Di samping itu, multi efek
perkawinan usia dini dan adopsi ilegal, perbudakan seksual atau dijadikan pelacur, pengemis,
eksploitasi pornografi juga mengandung unsur perdagangan orang.
Jadi
, hal tersebut hanya pendapat dari segelintir orang yang tidak tahu bagaimana
kehidupan perempuan di Indonesia yang sebenarnya.
Penanya : Irwan Budiana
Penjawab : BaiqZuliawati
Tambahan
: Baiq Octarina D.S
Contoh Makalah Politik Gender dan Demokrasi
ReplyDelete